REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dina Aprilya, Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menetapkan tahapan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 di era pandemi Covid-19. Sejumlah protokol kesehatan pun akan diterapkan pada tahapan-tahapan pilkada. Keputusan itu diberlakukan seiring dengan dikeluarkannya Peraturan KPU (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 mengenai perubahan ketiga atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada Tahun 2020 (CNN Indonesia,
16/06/2020).
Meskipun diterapkan protokol kesehatan, tetapi bayang-bayang ancaman risiko kematian tentu akan mengintai keselamatan petugas dan pemilih akibat penularan Covid-19. Karena beberapa tahapan penting Pilkada memungkinkan menimbulkan kerumunan massa.
Tak ada satu pun yang dapat memastikan kapan berakhir pandemi. Hingga kini jumlah warga yang terpapar terus meningkat, bahkan wilayah yang dinyatakan zona merah juga semakin bertambah.
Diketahui, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pernah merinci bahwa 40 dari 261 kabupaten atau kota yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 masuk dalam zona penyebaran virus corona. Selanjutnya, 99 kabupaten atau kota lainnya masuk di zona oranye, 72 di zona kuning, dan 43 berada di zona hijau penyebaran Covid-19. Meski digelar di tengah pandemi, Ketua KPU Arief Budiman yakin bisa mempertahankan jumlah
pemilih di Pilkada 2020 (CNN Indonesia, 16/06/2020).
Namun, pemerintah tetap ngotot akan menyelenggarakan pilkada meski dalam kondisi pandemi. Hingga masih segar dalam ingatan publik, pengalaman pahit penyelenggaran Pemilu 2019 lalu, berdasarkan data KPU RI jumlah petugas yang meninggal saat itu mencapai 894 petugas dan sebanyak 5.175 petugas mengalami sakit.
Pilkada di tengah wabah memang tidak sesuai dengan kondisi saat ini dikarenakan dana yang diluncurkan juga terbilang banyak. Bahkan bala bantuan juga masih banyak yang tidak tepat sasaran. Diketahui KPU mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp 4,7 triliun, DKPP sebesar Rp 39 miliar, dan Bawaslu sebesar Rp 478 miliar.
Kemudian, persiapan pelaksanaan Pilkada di masa pandemi dinilai juga belum matang, melihat persiapannya yang singkat dan terburu-buru. Juga tidak menjadikan pembenaran Pilkada 2020 hanya sebatas mengisi kekosongan kursi.
Bahkan kepercayaan publik terhadap partai politik berada pada titik nadir. Disebabkan praktik korupsi di dalam partai politik kian menjadi dan merupakan hal yang lumrah. Di mana semua itu berawal dari upeti yang terjadi saat pilkada maupun pilpres.
Dalam sistem demokrasi, menempatkan kekuasaan di tangan rakyat. Calon penguasa mendapatkan modal besar dari pengusaha untuk berkuasa. Setelah penguasa yang didukung pengusaha sukses menjadi penguasa, maka pengusaha dengan mudah mendapatkan konsesi dalam berbagai kepentingan terutama menjalankan berbagai proyek. Begitulah mekanisme
transaksi-transaksi mutualisme politik yang terjadi antarberbagai kekuatan dalam sistem demokrasi.
Seharusnya pemerintah menyadari bahwa Pilkada bukan isu utama yang menjadi perhatian publik saat ini. Maka kebijakan Negara di masa wabah semestinya berorientasi tertinggi menyelamatkan nyawa dan menghentikan kesengsaraan orang yang sakit maupun
semua pihak yang terdampak. Bukan mengejar ‘maslahat’ pertumbuhan ekonomi, apalagi bila alasan itu terbukti ditunggangi nafsu kerakusan segelintir elite kapitalistik untuk mengisi
kekosongan jabatan. Wallahu’alam bishawab.