Sabtu 05 Sep 2020 14:35 WIB

Mengupas Alquran dengan Takwil

Kata takwil diambil dari kata awwata.

Rep: Syahruddin El Fikri/ Red: Muhammad Hafil
Mengupas Alquran dengan Takwil. Foto: Membaca Alquran (ilustrasi)
Foto: Muhammad Rizki Triyana (Republika TV)
Mengupas Alquran dengan Takwil. Foto: Membaca Alquran (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para Mufasir (pakar tafsir) sering mengungkap rahasia kandungan ayat Alquran dengan metode takwil. Secara etimologis, takwil berarti mengungkap suatu makna secara alegoris (kiasan), simbolik, atau pun rasional. Kata takwil diambil dari kata awwata yang berarti mengembalikan makna yang sebenarnya atau menerangkan hakikat dari apa yang dimaksudkan.

Pakar tafsir abad ke-15, Jalaluddin as-Suyuti berpendapat, takwil adalah menentukan sebuah makna dari beberapa makna yang berbeda yang dikandung oleh lafal, yang harus dilandasi oleh dalil-dalil. Sedangkan Ibnu Rusyd menyatakan, takwil adalah menerangkan makna suatu lafal majazi (lafal yang dipakai adalah kiasan) dari makna yang hakiki atau sebenarnya.

Baca Juga

Rumusan lain dikemukakan oleh ahli tafsir, Mahmud Basuni Faudah. Menurutnya, tak wil adalah memilih yang lebih kuat di antara beberapa kemungkinan dari segi lafal dengan berlandaskan alasan, argumentasi, pertimbangan yang menonjolkan peranan akal dan pemikiran, dan pengetahuan yang dapat menerangkan perbendaharaan kata serta arti-arti leksikalnya dalam bahasa Arab. Karena ada suatu lafal mengandung beberapa makna yang semuanya tidak bersifat pasti, maka dipilih yang terkuat.

Jadi, secara terminologi, takwil merupakan esensi atau hakikat yang terkandung dalam suatu ungkapan atau kalimat. Hal itu didapatkan dengan menafsirkan batin lafal, atau mengungkapkan tentang hakikat maksud yang terkandung di dalam nya. Dengan kata lain, takwil adalah menerangkan yang tersirat dalam makna.

Dalam Alquran, kata takwil disebut sebanyak 17 kali. Takwil menjadi salah satu metode untuk memahami ayat-ayat Alquran, yakni menafsirkan makna ayat-ayat yang mengandung pengertian tersembunyi. Di antara ayat-ayat Alquran ada yang mengandung makna lahir (tampak). Ayat ini diistilahkan dengan ayat muhkamat (ayat yang jelas dan tegas). Namun, ada pula ayat yang mengandung makna batin (tersembunyi). Ayat ini diistilahkan dengan ayat mutasyabihat (tidak jelas, samar-samar). Di sinilah takwil berfungsi untuk mendefinisikan ayat-ayat yang mutasyabihat tersebut.

Makna lahir ialah suatu pemahaman yang sesuai dengan lisan orang Arab. Sedangkan makna batin adalah apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman-Nya. Karena itu, ada ayat-ayat tertentu yang memerlukan penafsiran alegoris (bersifat kiasan), simbolik, dan rasional, sehingga yang tidak jelas serta samar menjadi jelas dan bisa dipahami.

Takwil memilih satu makna dari sekian ba nyak makna suatu kata dan kalimat. Takwil mene tapkan makna dari lafal yang ditetapkan oleh Allah SWT. Mengalihkan makna suatu lafal kepada mak na yang lain atau mengalihkan makna yang rajih (yang kuat) kepada yang marjuh (dikuatkan) juga termasuk dalam cakupan takwil. Jika istilah tafsir berarti menerangkan maksud lafal ayat yang muskil (samar) atau memahami makna lafal, maka takwil adalah istilah yang digunakan untuk memahami yang terkandung di dalam makna ayat. Menurut pakar tafsir, Ibnu Naqib, ilmu pengetahuan dalam Alquran mengandung tiga bentuk.

Pertama, pengetahuan yang tidak disampaikan oleh Allah SWT kepada siapapun. Pengetahuan ini berkaitan dengan rahasia-rahasia untuk mengenai wujud-Nya, serta rahasia-rahasia gaib yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali Dia.

Kedua, pengetahuan yang disampaikan Allah SWT kepada Nabi-Nya. Pengetahuan ini men cakup rahasia-rahasia hari kiamat. Ketiga, pengetahuan yang diajarkan Allah SWT kepada Nabi-Nya tentang makna-makna yang terdapat di dalam Alquran. Hal ini dapat diperoleh melalui dua cara. Pertama, melalui pendengaran, seperti asbab an-nuzul (sebab turun ayat), kiraat, dan bahasa. Sedangkan yang kedua melalui penalaran, pembuktian, dan pengambilan kesimpulan.

Untuk yang terakhir ini, para ulama berselisih pendapat tentang keharusan menakwilkan ayatayat mutasyabihat. Masalah ini menjadi lebih rumit karena para pakar tafsir tidak sepakat tentang adanya ayat-ayat mutasyabihat dan apa saja ayatayatnya. Seorang pakar bisa memandang suatu ayat sebagai ayat mutasyabihat, sedangkan pakar lain tidak.

Jika ayat-ayat mutasyabihat itu ada, timbul pula perdebatan apakah boleh menakwilkan ayat-ayat itu. Ada yang berpendapat boleh, dan ada yang tidak membolehkan, tetapi cukup dipahami makna lahirnya apa adanya. Kelompok yang membolehkan takwil mengatakan, takwil dibolehkan bila makna lahir pada lafal suatu ayat tidak tepat untuk dipahami, dan pemunculan takwil tidak berkait dengan apakah ayat itu mutasyabihat atau tidak.

Menurut Ibnu Taimiyah, penafsiran ayat-ayat Alquran dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu penafsiran dengan nas dan penafsiran dengan akal. Ia lebih cenderung kepada penafsiran dengan nas. Adapun penafsiran dengan akal dinilainya tidak benar. Berarti, secara tidak langsung, ia tidak membenarkan takwil terhadap ayat-ayat, baik yang mutasyabihat maupun yang muhkamat, karena penggunaan takwil sangat membutuhkan peranan akal dan penalaran.

Golongan yang membolehkan takwil mengajukan syarat-syarat, di antaranya, dalam me nak wilkan tidak boleh mengalihkan suatu makna majazi ke makna hakiki, jika tidak dapat dipahami oleh akal. Selain itu, mereka juga mensya ratkan bahwa takwil dibolehkan jika makna lahir suatu ayat bertentangan dengan akal.

Takwil juga dibolehkan jika makna ayat tidak dapat dipahami dan dicerna oleh akal pikiran. Selain itu, takwil dibolehkan jika makna ayat itu populer dan dikenal dalam lisan Arab. Takwil yang dilakukan tidak bertentangan dengan hakikat agama dan hakikat kebahasaan. Demikian pula, takwil tidak boleh menakwilkan jika makna hakiki sudah dapat dipahami.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement