REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Kisah ketakwaan dan kesalehan Malik bin Dinar sangat mengabadi di kalangan salaf, terutama para pegiat tasawuf. Ia terkenal dengan zuhud dan kehati-hatiannya (wara’). Pemilik nama lengkap Abu Yahya Malik bin Dinar al-Mashri tersebut juga piawai dalam ilmu agama.
Beberapa ulama tabiin dan generasi berikutnya banyak belajar dari sosok yang berprofesi sebagai pencatat buku itu. Tetapi, siapa sangka Malik bin Dinar yang saat ini menjadi teladan ketaatan tersebut, konon akrab dengan dunia hitam dan bergelimang dosa.
Segala bentuk maksiat pernah ia lakoni semasa lajang, seperti mabuk, menzalimi orang, memakan riba, dan sebagainya. “Orang menjauhiku akibat nista yang aku jalani,” katanya mengenang kehidupannya yang kelam.
Namun, kehidupan Malik berubah ketika tiba-tiba ia ingin menikah dan mendambakan anak. Ia pun lantas mewujudkan hasratnya itu, menikah dan memiliki momongan, seorang putri yang diberi nama Fatimah. “Aku sangat mencintainya,” ujarnya.
Kehadiran buah hati perlahan menyadarkan dan membangkitkan keimanan di hati Malik. Setiap kali bertambah besar, imannya pun meningkat dan maksiat di kalbunya berkurang. Fatimah memberikan perubahan besar dalam hidupnya. Malik kian dekat dengan Tuhan.
Suatu saat, Fatimah pernah melihatnya memegang segelas khamar maka anaknya tersebut mendekat kemudian menyingkirkan gelas tersebut hingga tumpah mengenai bajunya. Padahal, usianya belum genap dua tahun. “Allah SWT telah mengatur segalanya,” katanya.
Namun malang, Allah berkehendak lain. Satu tahun kemudian, tepat di usia tiga tahun, Fatimah diambil kembali oleh Sang Khaliq. Kematian buah hatinya itu menjadi pukulan telak bagi Malik.
Kepergian anaknya menjadi duka mendalam dan goncangan dahsyat. Ia kembali ke dunia hitam, bahkan lebih buruk dari sebelumnya. Ia mengaku belum memiliki kesabaran sebagaimana idealnya seorang mukmin. “Setan pun mempermainkanku,” ujarnya.
Datanglah masa ketika setan membujuk tokoh yang pernah berguru ke Anas bin Malik itu untuk menenggak minuman haram sepanjang malam. Minuman itu membuat dirinya tertidur lelap dan bermimpi mengerikan. “Aku melihat hari kiamat,” katanya mengungkapkan.
Ia pun mengisahkan bunga tidurnya tersebut. Matahari gelap, lautan menjelma menjadi api. Bumi bergoncang. Segenap anak Adam berkumpul ketika itu secara berkelompok. Malik berada di tengah-tengah kelompok itu.
Suara misterius memanggil satu per satu segerombolan orang tersebut. Ia melihat wajah seseorang yang dipanggil menuju Sang Khaliq, begitu kelam. Tiba-tiba, giliran suara itu memanggil namanya agar menghadap Tuhan. Padang Mahsyar yang semula penuh sesak, tak satu pun terlihat. Semua lenyap, menyisakan dirinya seorang.
Dalam mimpi itu, ia melihat seekor ular besar yang ganas lagi kuat merayap mengejar dan membuka mulutnya, seolah ingin menerkam. Ia berlari ketakutan. Di tengah pelariannya, Malik melihat seorang laki-laki tua yang lemah dan meminta tolong kepadanya. “Hai, selamatkanlah aku dari ular ini!”
Si tua itu menolak lantaran tak kuasa, dirinya sangat lemah. Ia hanya menyarankan agar Malik berlari ke suatu arah dengan harapan selamat. Saran itu ia ambil dan tak disangka justru di depannya terdapat jurang api yang membara.
Sementara, ular itu masih berada di belakangnya. Ia bingung bukan kepalang. Malik harus melarikan diri dari ular dan menghindar dari api. Ia lantas memutuskan berlari cepat kembali ke orang tua untuk meminta bantuan.
Si tua renta itu kembali menolak sambil menangis menunjukkan ketidakmampuannya. Ia menyarankan Malik agar berlari menuju gunung. “Aku lemah seperti yang engkau lihat,” katanya.
Malik berlari sekencang mungkin ke arah gunung agar terhindar dari ular yang hendak memangsanya. Di atas gunung, ia melihat anak-anak kecil dan mendengar teriakan. “Wahai Fatimah tolonglah ayahmu, tolonglah ayahmu!”
Sosok kelahiran Basrah, Irak, itu kaget bercampur bahagia. Fatimah yang meninggal di usia tiga tahun berada di tengah-tengah anak-anak itu dan akan menyelamatkan dirinya dari situasi mengerikan ini. Fatimah memegang tangan sang ayah dan mengusir ular dengan tangan kirinya. Sang syah tak berkutik, ia laksana seonggok mayat yang ketakutan.
Fatimah lantas duduk di pangkuan sang ayah, sebagaimana di dunia dulu kemudian berkata, “Wahai Ayah, belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah. (QS al-Hadid [15]: 16).
Sang Ayah meminta penjelasan buah hatinya perihal ular dan kakek tua renta. Fatimah menjelaskan, ular merupakan amal keburukan yang dilakukan sang ayah yang dibesarkan dan tumbuh hingga nyaris menerkamnya.
Sedangkan lelaki lemah, merupakan wujud dari amal saleh yang tidak pernah dipelihara hingga ia sendiri menangis. Fatimah pun bergumam, seandainya saja ia tidak terlahir di dunia dan meninggal di usia balita, tentu tidak akan bisa memberikan manfaat kepadanya. “Tahukah engkau Ayah, amal-amal di dunia akan berwujud kelak di akhirat,” kata Fatimah.
Malik bangun dari mimpinya dan berteriak, “Wahai Tuhanku, sudah saatnya wahai Rabbku. Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” Lantas, ia mandi dan keluar untuk shalat Subuh dan ingin segera bertobat.
Ia kaget ketika memasuki masjid sang imam tengah membaca ayat yang sama seperti yang dibaca oleh Fatimah. Sejak itulah, Malik memutuskan untuk tetap istiqamah berada di jalan-Nya. Keteguhannya beribadah dan mengabdikan diri untuk agama dan Sang Khaliq menjadi teladan abadi sekalipun ia telah wafat pada 130 H.