REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Islam membahas tuntas segala aspek kehidupan. Pun kehidupan berkeluarga. Islam menggariskan jika anak keturunan kita juga mesti lekat dalam ikatan akidah Islam. Nabi Ibrahim AS telah memberikan pelajaran betapa tauhidlah yang harus dipancangkan dalam sanubari sang anak.
Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 124. “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata, ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman, ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.”
Pesan ini dihayati betul oleh sosok Muslimah asal Palestina, Sa'ad Jundallah. Seperti namanya, Sa'ad mengabdikan diri dan anak-anaknya sebagai tentara Allah SWT. Sa'ad memiliki lima orang anak, Muhammad, Ahmad, Abdullah, Anas, dan Yasir. Kelimanya adalah bintang gemintang perjuangan Islam.
Sa’ad lahir pada 1956 di Desa Sanburah di Kota Nablas. Sa’ad berasal dari keluarga yang dikenal sangat gigih dalam menjalankan perintah agama Islam. Ketika kecil, Sa'ad tak pernah lepas dari pengajaran Islam. Karakter kuat itu yang membuat semangat perlawanan terhadap zionis berkobar.
Sa’ad menyelesaikan pendidikan SMA-nya di jurusan IPA dan kemudian mendapatkan gelar diploma di jurusan akuntansi. Sa’ad terkenal di lingkungan keluarganya sebagai seorang yang sangat cerdas dan pandai dalam berbisnis.
Sa'ad kemudian menikah dengan Sayyid Mahmud Khalil, tahun 1978. Ia dan suami membentuk keluarga yang menghidupkan Alquran di rumahnya. Sunah-sunah tak pernah absen dari kediaman mungil mereka. Tarbiyah telah membuat Sa'ad dan anak-anaknya yakin jika penjajahan adalah nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam.
Sa'ad menanamkan kepada anak-anaknya untuk menjadi pemuda yang terpaut hatinya dengan masjid. Masjid adalah tempat menempa para pejuang. Ia mewajibkan anak lelakinya untuk menunaikan shalat berjamaah di awal waktu. Pembiasaan ini berujung pada kuatnya mentalitas Islam dalam diri anak-anaknya.
Sa’ad selalu menanamkan nilai mental pejuang dan kewibawaan sebagai umat Islam kepada anak-anaknya. Ia juga menanamkan kecintaan terhadap Palestina. Sebuah tanah yang dibagi-bagi dan dibatasi oleh negara baru bernama Israel.
Sa'ad pun memutuskan melawan. Ia beruntung, anak keduanya, Ahmad, tumbuh menjadi sosok pemberani. Bahu membahu, ibu-anak ini memiliki tugas baru. Menyuplai makanan dan logistik bagi pejuang-pejuang Palestina. Saat itu usia Ahmad baru 15 tahun. Teman-teman sebayanya masih sibuk dengan dunia remaja, main bahkan urusan roman picisan, Ahmad sudah mengambil bagiannya dalam jihad.
Sa'ad dan suaminya tak mengeluh meski hartanya terkuras untuk menyuplai pejuang Palestina. Baginya, jihad adalah menyerahkan semua yang ia mampu untuk agama Allah SWT. Termasuk, harta dan jiwa. Maka, Sa'ad tak terpukul ketika mendapat kabar bahwa Ahmad dikepung pasukan Zionis. Ahmad tertangkap dan akhirnya syahid dalam perjuangannya.
Bagi Sa'ad, menjadi ibu dari mujahid adalah sebuah kebanggaan. Ia justru merasa risau jika melihat pejuang Palestina kembali dalam keadaan hidup. Syahid sudah tertanam dalam visi keluarganya. Jihad menjadi jalan perjuangan dan syahid menjadi cita-cita tertinggi. Ia juga dikenal sebagai ibunda para mujahid.