REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Meskipun biasanya berbasis di perdesaan, pesantren memiliki jaringan keilmuan yang lintas mancanegara. Penyebabnya bisa dilacak hingga jaring ulama yang berkisar di Tanah Suci. Kontak ulama Nusantara dengan Haramain, khususnya sejak abad ke-18 semakin meng- giatkan perkembangan pesantren. Dalam masa transisi abad ke-19 menuju abad ke-20, para haji Nusantara tidak sekadar beribadah rukun Islam yang kelima.
Sebagian dari mereka juga merupakan pembelajar yang telah lama tinggal di Makkah. Kota itu merupakan pusat dunia Islam sekaligus titik perjumpaan pelbagai gagasan yang menjadi arus besar dunia. Pada era tersebut, ide-ide modernisme Islam mulai masuk dengan deras ke Nusan- tara, termasuk kalangan pesantren. Pendidikan tradisional mulai perlahan- lahan dipadukan dengan metode pengajaran modern di pesantren Jawa dan Sumatra.
Sebagai contoh adalah pondok pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Lembaga ini didirikan KH Hasyim Asy'ari pada 1899. Hingga tahun 1916, demikian seperti dikutip bukuShaleh Putuhena(2007), pesantren Tebuireng masih mengikuti sistem neoklasikal. Isinya berupa metode-metode sorogan dan bendongan yang dijalani santri untuk mendapatkan ilmu dari para kiai di pesantren. Namun, atas inisiatif KH Maksum, yakni menantu KH Hasyim Asy'ari, ada penambahan berupa matapelajaran ilmu-ilmu umum, semisal bahasa Melayu, matematika, dan geografi, bagi para santri Tebuireng.
Sepuluh tahun kemudian, muncul pula pelajaran bahasa Belanda. Sejak 1934, di pesantren ini didirikan sebuah madrasah Nizamiyah dengan kurikulum yang terdiri atas 70 persen mata pelajaran umum serta 30 persen sisanya adalah pelajaran agama Islam. Ini merupakan usulan dari KH Abdul Wahid Hasyim, yakni putra sang pendiri pondok pesantren Tebuireng.
Pada awalnya, penerapan usulan tersebut mendapatkan cukup tentangan dari sejumlah kiai sepuh. Namun, para orang tua santri merasakan manfaatnya bagi kemajuan dan keluasan wawasan santri sehingga aplikasinya jalan terus.
Contoh lainnya yang memadukan unsur modern dengan tradisional di pesantren adalah Pondok Modern Gontor di Ponorogo, Jawa Timur. Sejak awal berdirinya, pondok pesantren ini menggunakan model madrasah dalam pesantren. Lembaga ini berdiri pada 1926 atas inisiatif tiga bersaudara: KH Ahmad Sahal, KH Zainuddin Fanani, dan KH Imam Zarkasyi.
Pada mulanya, lembaga ini bernama Tarbiyatul Athfal (TA). Lalu, pada 1932 berdiri sebagai lanjutan dari TA itu Sullamul Mut'allimin (SM). Berikutnya, pada 1936 didirikanlah Madrasah Tsanawiyyah yang menjadi Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah. Di Gontor, para santri mempelajari ilmu-ilmu umum sekaligus ilmu-ilmu agama dengan disiplin yang ketat sehingga membangun mental yang tangguh.
Masih dalam kajian disertasi Shaleh Putuhena (2007), ada pula pesantren yang memadukan unsur keilmuan akademis dengan keterampilan hidup. Pada 1932, Abdul Halim Majalengka mendirikan Santi Asrama. Pesantren ini terbilang menarik lantaran tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama.
Di sini, ada juga pengajaran ilmu- ilmu pengetahuan umum serta keterampilan praktis, semisal perkebunan, pandai besi, dan pengukiran kayu. Putuhena menduga, Abdul Halim Majalengka merupakan ulama yang pertama kali menerapkan model pesantren kerajinan di Indonesia.
Sebagai informasi, sosok tersebut masih satu angkatan dengan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, serta tokoh besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Wahab Chasbullah. Mereka bertiga sempat berguru pada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekkah. Sang syekh merupakan ulama Nusantara yang tercatat sejarah menjadi imam besar sekaligus khatib di Masjid al-Haram. Melalui Syekh al-Minangkabawi pula, ide-ide modernisme Islam diperkenalkan secara kritis kepada para pelajar Jawi yang sedang bermukim di Tanah Suci.