REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Target penerimaan perpajakan tahun depan dipangkas Rp 37,4 triliun menjadi Rp 1.444,5 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, penurunan ini dikarenakan masih adanya ketidakpastian ekonomi yang besar pada tahun depan. Khususnya yang terkait dengan penanganan pandemi Covid-19.
Sri mengatakan, tekanan terhadap penerimaan perpajakan sudah terlihat dari realisasi tahun ini. Sampai dengan Agustus, penerimaan pajak dan bea cukai baru mencapai Rp 795,95 triliun, atau 54 persen dalam target APBN 2020, Rp 1.404 triliun.
Situasi serupa diyakini Sri masih terus berlangsung sampai tahun depan. Pandemi berpotensi menciptakan ketidakpastian berkepanjangan yang berpotensi menekan penerimaan perpajakan.
"Oleh karena itu, kita melakukan pembahasan untuk koreksi," ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Banggar DPR secara virtual, Jumat (11/9).
Dalam Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada pertengahan Agustus, pemerintah menetapkan target penerimaan perpajakan tahun depan sebesar Rp 1.481,9 triliun. Sebanyak Rp 1.286 triliun di antaranya disumbangkan oleh pajak, sedangkan sisanya dari kepabeanan dan cukai.
Penurunan tepatnya akan terjadi pada penerimaan pajak. Dalam postur sementara terbaru, pemerintah menetapkan target Rp 1.229,6 triliun, atau terjadi penurunan sampai Rp 38,9 triliun. Tekanan penerimaan korporasi dan perseorangan akibat pandemi Covid-19 yang berimbas pada setoran ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadi penyebabnya.
Di sisi lain, penerimaan dari bea cukai justru naik Rp 1,5 triliun. Sri mengatakan, kenaikan target dilakukan dengan harapan usulan pemerintah untuk ekstensifikasi barang kena cukai dapat disetujui oleh DPR. "Ini sesuai pembahasan sebelumnya di Komisi XI DPR," tuturnya.
Kenaikan juga terjadi pada pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dalam postur sementara RAPBN 2021, pemerintah ditargetkan dapat mengumpulkan PNBP Rp 298,2 triliun, naik Rp 4,7 triliun dari target semula.
Sri mengatakan, kenaikan pada PNBP terutama dikarenakan adanya penurunan cost recovery dari 8,5 miliar dolar AS menjadi 8 miliar dolar AS. Efeknya dirasakan pada PNBP Sumber Daya Alam (SDA) minyak maupun SDA gas yang masing-masing naik Rp 1,92 triliun dan Rp 630 miliar. Domestic Market Obligation (DMO) juga naik Rp 130 miliar.
Selain itu, PNBP Kementerian/ Lembaga juga naik Rp 2 triliun. Sri mengatakan, kenaikan ini bersumber dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). "Ini yang sudah di-confirm dengan Pak Menteri (Menkominfo Johnny G Plate, red)," katanya.
Sri menyebutkan, target penerimaan perpajakan terbaru sudah menggambarkan kondisi realistis, namun juga masih menunjukkan akan ada effort yang dapat dipertanggungjawabkan secara akuntabel. Baik dari sisi pajak, kepabeanan dan cukai maupun PNBP.
Sementara itu, Ketua Banggar DPR Said Abdullah menyebutkan, penerimaan pajak akan menjadi penentu dalam pencapaian target pembangunan tahun depan. Ia berharap, target penerimaan pajak yang sudah disepakati ini cukup realistis dan optimistis bagi pemerintah.
"Sebab, angka itu sudah berada di atas pertumbuhan alamiahnya sekitar sembilan persen (pertumbuhan+inflasi+eksta effort)," ucapnya.
Target tersebut juga memiliki konsekuensi tersendiri dalam postur APBN lainnya. Apabila tidak tercapai, Said menekankan, pemerintah harus memiliki manajemen risiko fiskal yang baik, yakni tidak boleh lagi menambah defisit anggaran.
Sebagai gantinya, pemerintah dapat melakukan refocussing dan realokasi anggaran yang fleksibel. "Tapi, dengan tetap menerapkan disiplin fiskal yang tinggi," kata Said.