REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Cecep Darmawan, Guru Besar Ilmu Politik UPI dan Sekretaris II Persatuan Guru Besar/Profesor Indonesia
Meski mendapat berbagai tekanan, akhirnya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dimulai Senin, 14 September 2020. Anies menekankan pentingnya PSBB di DKI Jakarta.
Kebijakan PSBB jidil II, dikeluarkan Anies sebagai bentuk rem darurat. Anies melihat kondisi tingkat kasus positif dan tingkat kematian akibat covid-19 di DKI Jakarta cenderung meningkat, sementara berbagai fasilitas kesehatan khususnya ketersediaan tempat tidur isolasi dan ICU khusus pasien covid-19 semakin terbatas.
Kebijakan PSBB jilid II atau langkah rem darurat yang dikeluarkan Anies ini, menuai perdebatan berbagai kalangan. Yang menarik kontroversi ini melibatkan elite pemerintahan pusat, elite partai politik, maupun kepala daerah lainnya.
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, misalnya memberikan pandangan terkait kebijakan PSBB total di DKI Jakarta. Ridwan Kamil bahwa kebijakan di Jakarta akan berdampak tak hanya regional, tetapi juga nasional. Untuk itu, ia menyarankan agar Anies berkonsultasi terlebih dahulu dengan pemerintah pusat.
Sementara, Anies sendiri menyebutkan pemerintah pusat telah mendukung rencana Pemprov DKI terkait rem darurat untuk menerapkan PSBB ketat. Atas silang pendapat ini, publik dibuat bingung.
Kebijakan masa pandemi kerap terkesan seakan akrobat-akrobat kebijakan. Alih-alih mencari solusi, yang terjadi malah kontroversi dan perdebatan yang kurang elok.
Atas diskursus PSBB Jilid II di DKI Jakarta ini, penulis menilai problematika utama dari keputusan PSBB total di DKI Jakarta disebabkan adanya kegamangan fokus kebijakan dari pemerintah. Kegamangan ini terkait ketidakjelasan pilihan mana yang diutamakan dalam menangani pandemi, apakah kebijakan dengan paradigma kesehatan ataupun kebijakan berparadigma ekonomi yang diperhatikan.
Selain itu, langkah kebijakan yang diambil pun seringkali inkonsisten dalam penerapannya. Jika pada awalnya pemerintah pusat menilai kebijakan PSBB merupakan langkah yang tepat dari pada lockdown, justru kini pemerintah pusat menilai bahwa Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM) lebih efektif dalam menghadapi pandemi covid-19. Padahal ditinjau secara aturan, dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan tidak mengenal istilah PSBM tersebut.
UU No. 6 Tahun 2018 hanya mengatur terkait PSBB pada Pasal 59 yang menyebutkan bahwa Ayat (1) Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Ayat (2) Pembatasan Sosial Berskala Besar bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu. Ayat (3) Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. peliburan sekolah dan tempat kerja; b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Ayat (4) Penyelenggaraan Pembatasan Sosial Berskala Besar berkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Di samping inkonsistensi kebijakan, persoalan utama dalam kebijakan penanganan covid-19 ini ialah komunikasi, koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi antarpemerintahan yang kurang baik. Pola komunikasi pemerintahan tidak efektif bahkan terkesan kontradiktif. Seakan-akan tidak ada komunikasi dan koordinasi satu alur yang jelas dari pemerintah.