Rabu 16 Sep 2020 18:20 WIB

 Pam Swakarsa dan Pelibatan Jeger Penegak Disiplin Covid-19

Pelibatan preman justru sama dengan mengakui eksistensi mereka. 

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Agus Yulianto
Wakil Kepala Polri Komjen Gatot Eddy Pramono.
Foto: Eva Rianti
Wakil Kepala Polri Komjen Gatot Eddy Pramono.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dan Kepolisian Republik Indonesia mengajak preman atau 'jeger' dalam penegakan disiplin protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Mereka dinilai efektif dalam membantu aparat dan pemerintah guna mendisiplinkan masyarakat.

Wakapolri Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono dalam rapat bersama Komisi III DPR, Senin (14/9) lalu mengatakan, komunitas diajak untuk menegakan disiplin tersebut. Dia mengatakan, Polri bukan merekrut preman pasar, tapi bekerja sama dengan mereka karena kepolisian tidak mungkin berpatroli setiap hari.

Organisasi masyarakat (ormas) itu akan bertugas mendisiplinkan masyarakat di tempat keramaian seperti pasar, perkantoran, stasiun, hingga terminal. Mereka sebelumnya diberikan pelatihan.

Dalam catatan sejarah nasional, pelibatan ormas sempat digunakan pemerintah dan aparat pada 1998 lalu. Saat itu, otoritas negara memberikan kewenangan kepada kelompok sipil yang disebut Pam Swakarsa atau Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa.

Kelompok sipil bersenjata tajam bentukan bentukan TNI ini didirikan guna membendung aksi mahasiswa sekaligus mendukung sidang istimewa MPR 1998. Pada akhirnya, ormas tersebut justru malah melahirkan benturan dengan masyarakat yang berakhir dengan dua Tragedi Semanggi.

Tragedi pertama bentrokan yang terjadi pada 11 November itu menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Tragedi kedua terjadi pada 24 September 1999 yang merenggut nyawa seorang mahasiswa dan 11 orang lainnya di seluruh Jakarta.

Pam Swakarsa saat itu disebut-sebut juga berisikan jawara-jawara dari berbagai daerah dan ormas-ormas semisal Pemuda Pancasila, Pemuda Panca Marga, FKPPI dan berbagai organisasi lainnya. Mereka saat itu juga disiagakan di berbagai lokasi di Jakarta.

Saat ini, pelibatan preman dalam penegakan disiplin Covid-19 di tengah masyarakat, tengah menuai kontroversi. Banyak yang menolak hal tersebut lantaran dinilai bakal memicu konflik horizontal.

Pakar Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyebut, pelibatan preman untuk menertibkan protokol Covid-19 tak tepat. Ia menyebut, wacana tersebut justru bertentangan dengan tugas kepolisian untuk memberantas premanisme.

Dia menilai, pelibatan preman justru sama dengan mengakui eksistensi mereka. Artinya, sambung dia, langkah tersebut merupakan pikiran yang malah bertentangan dengan akal sehat dan terlalu pragmatis.

Sebelumnya, Wakapolri Gatot Eddy Pramono menjelaskan salah satu upaya penegakkan protokol Covid-19 yakni membangun kesadaran kolektif. Dia mengatakan, hal itu membutuhkan upaya semua pihak, terutama tokoh tertentu dalam suatu komunitas.

"Komunitas itu apa saja, ada komunitas perkantoran, pasar, hobi, pasar, ojek, motor besar yang semuanya mempunyai pimpinan formal dan informal," katanya.

Gatot menjelaskan, membangun kesadaran kolektif relatif mudah dilakukan di tempat atau komunitas terstruktur, misalnya perkantoran, mal atau pasar pemerintah. Sebab ada pimpinan resmi dari tempat tersebut.

Namun, ada komunitas yang tidak memiliki struktur resmi namun memiliki tokoh yang dianggap penting oleh komunitas tersebut. Gatot mencontohkan pasar tradisional, di mana kerap ada 'jeger' atau preman yang selalu berada di dekat mereka.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement