REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Kementerian Agama (Kemenag) menyatukan kalender Hijriyah kini memasuki babak baru. Kali ini, Kemenag bersama lembaga dan ormas Islam sedang dalam proses pembahasan Naskah Akademik Unifikasi Kalender Islam.
Ketua Lembaga Falakiyah PBNU, KH Sirril Wafa, menyebut saat ini pembuatan naskah akademik baru memasuki tahap pengumpulan data. Pekerjaan ini disebut tidak bisa dianggap ringan.
"Naskah akademik baru dikumpulkan datanya. Jadi belum bisa dilihat hasil rumusannya. Ini kerjaan yang tidak ringan, maka diharap dikerjakan bersama-sama dengan cara pembagian tugas oleh tim kecil," ujar Kiai Sirril Wafa, saat dihubungi Republika, Rabu (16/9).
Selain dilakukan pembagian tugas, ia juga menyebut ke depannya diperlukan beberapa kali pertemuan dengan seluruh komponen. Tujuan diadakannya pertemuan untuk mengevaluasi kemajuan dan hasil dari tim kecil.
Pertemuan yang dilakukan sebelumnya di Serpong, Senin (14/9) kemarin, sebatas membahas langkah-langkah serta garis besar naskah akademik. Termasuk di dalamnya dipetakan latar belakang masalah, garis besar historis, filosofis, serta yuridisnya.
Perihal tugas tim kecil, Kiai Sirril Wafa menyebut diharap dapat menyelesaikan tugasnya maksimal akhir tahun ini. Hasil kerja tim kecil akan ditindaklanjuti dan dipertajam oleh pihak selanjutnya.
"Nantinya akan dipertajam dengan pakar-pakar kalangan akademisi yang dipandang berwawasan keilmuan yang terkait. Misalnya, sejarah, filsafat, dan ilmu sosial lainnya disamping penajaman efek astronomi dan kepentingan fiqhiyyahnya (persinggunggunya dengan aspek hukum Islam)," lanjutnya.
Hasil dari semua langkah di atas, disebut masih memerlukan uji implementasi dan sosialisasi. Untuk sementara, tahapan yang disebut tadi diharap bisa diselesaikan sebelum tahun 2022.
Hal ini mengingat setelah tahun 2022, prediksi perbedaan dalam mengawali Ramadhan, Idul Fitri, maupun Idul Adha, berpotensi terjadi. Terlebih, bisa masih ada kriteria yang belum disepakati oleh semua pihak.
"Target yang dimaksud disini tidak terkunci begitu saja, mengingat penjaringan respon dari ormas belum bisa dilakukan. Kita tunggu kerja keras dari semua yang terlibat. Yang jelas selama pembahasan, semua tampak antusias dan semangat demi persatuan umat," kata Kiai Sirril Wafa.
Diberitakan sebelumnya, pembahasan naskah akademik dilakukan oleh sejumlah pakar dalam Diskusi Kelompok Terarah atau Focus Group Discussion (FGD) Hisab Rukyat dan diinisiasi oleh Kemenag. Dirjen Bimas Islam Kemenag, Kamaruddin Amin, menyebut upaya penyatuan Kalender Hirjiyah tidak mudah.
Proses penyatuan kalender ini jelas membutuhkan waktu yang cukup lama. Meski demikian, berbekal komitmen kolektif dan dukungan dari banyak pihak, ia optimis tujuan tersebut akan tercapai.
"Sungguh ini adalah upaya yang kuat yang dibangun bersama, guna mewujudkan cita-cita mulia yaitu penyatuan kalender hijriyah,” ujar Kamaruddin Amin.
Ia juga menyebut tujuan yang diharapkan kini perlahan-lahan mendekati titik akhir. Untuk mencapai tahapan itu, selain dibutuhkan komitmen kolektif dan keyakinan yang sangat tinggi, juga kompetensi akademik, sosial dan politik.
Penyusunan naskah akademik, kata Kamaruddin, merupakan salah satu tahapan penting. Rumusan ini akan menjadi tolak ukur progress upaya unifikasi.
“Naskah akademik ini adalah starting point yang dapat menjadi justifikasi bagi konstruksi pengetahuan. Untuk menyusunnya tentu harus dibangun dengan argumentasi yang kokoh dan kuat," lanjutnya.
Kepakaran kolektif maupun beragam variasi metodologi yang ada diperlukan untuk menyusun hal tersebut. Selanjutnya, naskah akan diuji dan diukur secara lebih terbuka, serta menjadi catatan pencapaian.
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. Dr. Hasanuddin Abdul Fatah, menyebut rencana Kemenag ini memang sering dibahas dan digaungkan. Untuk mewujudkannya, ia mengaku diperlukan kesepakatan dan kerja sama dari banyak pihak.
"Berkali-kali dilakukan diskusi, seminar, hingga loka karya. Namun tampaknya titik temunya memang agak susah untuk menyatukan tiga mazhab," ujar Prof. Hasanuddin saat dihubungi Republika, Selasa (15/9).
Dalam menentukan tiga agenda besar Islam di Indonesia, seperti 1 Syawal, awal Ramadhan, dan 1 Dzulhijjah, disebut menggunakan tiga mazhab.
Mazhab pertama yang digunakan yakni wujudul hilal. Dalam mazhab ini, disebut munculnya hilal berapapun derajat di atas ufuk secara hisab, maka keesokan harinya sudah puasa atau lebaran.
Mazhab kedua adalah imkanur ru'yah. Bagi yang menggunakan mazhab ini, dipercaya walaupun hilal sudah muncul, harus tetap bisa dilihat dengan mata telanjang.
"Yang ketiga, ini rukyatul-hilal bil fi'li. Jadi hilal sudah ada, mungkin di lihat, dan secara faktual bisa dilihat. Ini lebih tinggi lagi kriterianya," lanjutnya.
Prof. Hasanuddin menyebut, tiga mazhab ini sering kali terasa susah untuk disatukan karena standardnya yang berbeda. Ia menyarankan, semestinya ada toleransi antar mazhab.
"Jadi mazhab yang pertama bisa dinaikkan sedikit. Sementara mazhab ketiga, diturunkan sedikit. Jadi ketemu di tengah. Sepakat ada hilal, sudah terdeteksi secara hisab, tapi hilal itu mungkin bisa dilihat dan tidak usah secara faktual," kata dia.
Jika menggunakan metode tersebut, maka hilal di atas ufuk dua derajat sudah dianggap sah. Sementara, jika mengikuti aturan bisa dilihat secara faktual, maka hilal harus berada di atas dua derajat.