REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Sebanyak 156 negara telah bergabung dalam skema global untuk distribusi vaksin Covid-19 di bawah koordinasi yang dipimpin oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Namun China dan Amerika Serikat (AS) tidak ikut bergabung dalam skema global tersebut.
Pemerintahan Presiden Donald Trump telah mengamankan pasokan vaksin melalui kesepakatan bilateral. Hal ini memicu tuduhan bahwa AS telah berperilaku egois sehingga merugikan negara-negara miskin. China juga tidak ada dalam daftar 64 negara kaya yang bergabung dalam rencana COVAX untuk mengirimkan 2 miliar dosis vaksin ke seluruh dunia pada akhir 2021.
Skema distribusi vaksin global akan mencakup sekitar dua pertiga dari populasi dunia. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan skema COVAX akan memberikan portofolio kepada para kandidat penerima vaksin terbesar di dunia.
“Ini bukan amal, ini untuk kepentingan terbaik setiap negara. Ini bukan hanya hal yang benar untuk dilakukan, tapi ini adalah hal yang cerdas untuk dilakukan," ujar Ghebreyesus.
Sejumlah negara kaya enggan bergabung dengan skema COVAX. Hal ini menjadi tantangan untuk mendistribusikan vaksin secara adil antara negara kaya dan negara miskin di dunia. Aliansi skema COVAX berharap 38 negara kaya lainnya dapat bergabung dengan inisiatif ini dalam beberapa hari mendatang.
COVAX dipimpin oleh GAVI yakni organisasi internasional yang bergerang terkait akses vaksin, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan Koalisi CEPI untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi. Mereka telah menerima komitmen sebesar 1,4 miliar dolar AS untuk penelitian dan pengembangan vaksin. Namun jumlah tersebut masih belum mencukupi. Mereka masih membutuhkan sumbangan tambahan antara 700-800 juta dolar AS.
Lebih dari 150 vaksin potensial sedang dikembangkan dan diuji secara global. Dari jumlah tersebut, sebanyak 38 vaksin sedang dalam tahap uji coba kepada manusia.