REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kabiro Humas KPK Febri Diansyah yang mundur dan pamit dari lembaga anti rasuah. Febri mundur karena kondisi politik dan hukum bagi KPK telah berubah. Terutama, setelah disahkannya revisi UU Nomor 30 tahun 2002 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang KPK pada 17 September 2019
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron menghormati keputusan Kabiro Humas KPK Febri Diansyah yang mundur dan pamit dari lembaga anti rasuah. Febri juga telah bertemu langsung dengan dirinya saat menyampaikan pengunduran dirinya, per Oktober nanti.
"Saya pribadi menghormati keputusannya untuk mundur dengan segala pertimbangannya. Saya merasa kehilangan dan KPK sebenarnya juga merasa kehilangan, karena bagaimanapun mas Febri bagian dari KPK yang telah turut mengawal dan membesarkan KPK, namun kami menghormati keputusannya dan saya tetap berharap walau yang bersangkutan di luar KPK akan tetap bersatu di titik pemberantasan korupsi di Indonesia, " ujar Ghufron di Gedung KPK Jakarta, Kamis (24/9).
Sebelumnya, Febri mengaku, berat memutuskan mundur sebagai Kepala Biro dan pegawai KPK. Berat, lantaran harus mundur dan meninggalkan koleganya yang masih berjuang di tengah kondisi sulit yang dihadapi KPK saat ini.
"Sejujurnya agak berat bagi saya untuk mengambil keputusan ini, apalagi harus menyampaikan kembali ke teman-teman karena bagaimana pun juga dengan diambil keputusan ini, saya harus meninggalkan teman-teman yang masih berjuang di dalam KPK, meski kondisi sangat sulit dan keluar dari KPK secara formil, " tutur Febri di Gedung KPK Jakarta, Kamis (23/9).
"Namun demikian saya perlu tegaskan bahwa kalaupun saya keluar dari KPK, tapi saya tidak akan pernah meninggalkan KPK dalam artian yang sebenarnya, " ujar Febri.
Diketahui, Febri menyampaikan surat pengunduran dirinya kepada Sekjen KPK, Kabiro SDM dan pimpinan KPK pada 18 September 2020. Dalam surat pengunduran diri tersebut, Febri menyatakan, bahwa pilihannya menjadi pegawai KPK adalah agar dapat berkontribusi secara signifikan dalam upaya memberantas korupsi. Untuk itu, menjadi pegawai KPK bukan hanya soal status, tetapi lebih ke dalam perjuangan memberantas korupsi.
"Dan untuk berjuang itu agar lebih maksimal harus dilandasi dengan independensi kelembagaan dan independensi dalam pelaksanaan tugas," kata Febri.
Namun, kondisi politik dan hukum bagi KPK telah berubah. Terutama setelah disahkannya revisi UU Nomor 30 tahun 2002 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang KPK pada 17 September 2019 lalu.
"Tapi kami tidak langsung meninggalkan KPK pada saat itu. Kami bertahan di dalam dan berupaya untuk bisa berbuat sesuatu agar tetap bisa berkontribusi untuk pemberantasan korupsi," tuturnya.
Mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) memutuskan mundur setelah bertahan selama 11 bulan menjalani kondisi 'baru' KPK. Namun, di tengah ikhtiarnya tersebut, Febri makin merasakan tak adanya ruang signifikan untuk berkontribusi memberantas korupsi.
"Rasanya ruang bagi saya untuk berkontribusi dalam pemberantasan korupsi akan lebih signifikan kalau saya berada di luar KPK. Tetap memperjuangkan dan ikut advokasi pemberantasan korupsi. Karena itu saya menentukan pilihan ini. Meskipun tidak mudah, meskipun berat, saya ajukan pengunduran diri," katanya.
Sebelum bergabung ke KPK, Febri merupakan aktivis di Indonesia Corruption Watch. Lulusan Universitas Gajah Mada itu ditunjuk menjadi juru bicara pada 2016 dan berakhir saat menjelang akhir 2019, tidak lama setelah Firli Bahuri memimpin lembaga tersebut.