REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pengamat hubungan internasional UGM, Muhadi Sugiono mengatakan, sejauh ini sudah ada 46 negara telah ikut meratifikasi perjanjian pelarangan senjata nuklir. Jika terakhir ada Malaysia, dalam waktu dekat ada Filipina.
"Kita berharap akhir Oktober 50 negara sudah melakukan ratifikasi pelarangan senjata nuklir," kata Muhadi, Kamis (1/10).
Ia menuturkan, bila sudah tercapai 50 negara yang telah melakukan ratifikasi, maka perjanjian pelarangan dan pelucutan senjata nuklir ini bisa jadi hukum internasional. Artinya, pelarangan akan berlaku ke semua negara-negara dunia.
Implikasinya, kata Muhadi, senjata nuklir dianggap senjata ilegal sama dengan senjata pemusnah massal seperti senjata kimia dan senjata biologis yang harus dimusnahkan. Ia berpendapat, ini menjadi informasi menggembirakan bagi semua.
Meski begitu, perjanjian pelarangan penggunaan senjata nuklir memang belum didukung lima negara besar. Yang mana, selama ini jadi negara yang dibolehkan menggunakan senjata nuklir seperti AS, Rusia, Inggris, Prancis dan Cina.
Untuk itu, jika sudah ditetapkan sebagai hukum internasional, maka penggunaan dan bisnis senjata nuklir dianggap ilegal dan dikucilkan negara lain. Sebab, selama ini pengaturan senjata nuklir terus dikuasai lima negara tersebut.
Muhadi menambahkan, jika nanti akan jadi hukum internasional, maka keinginan menghentikan penggunaan senjata nuklir akan segera tercapai. Apalagi, sesuai tujuan awal pendirian PBB, senjata nuklir di muka bumi harus dihapuskan.
"PBB didirikan dengan keinginan awal untuk menghapus senja nuklir, hampir 75 tahun untuk menghapus ini belum ada kemajuan," ujar Muhadi.
Walau separuh negara-negara yang meratifikasi merupakan negara-negara kecil, ia menyayangkan sikap Pemerintah Indonesia yang belum melakukan ratifikasi. Namun, Muhadi meyakini komitmen Kemenlu RI sama dengan negara-negara lain."Saya kira ini masalah waktu saja soal ratifikasi ini," kata Muhadi.