REPUBLIKA.CO.ID, PAMPLONA -- Setelah berbulan-bulan karantina wilayah Covid-19 yang menghentikan salah satu gerakan migrasi terbesar dunia dalam beberapa tahun terakhir, rakyat Venezuela sekali lagi melarikan diri dari krisis ekonomi dan kemanusiaan. Pejabat imigrasi Kolombia memperkirakan 200.000 warga Venezuela akan memasuki negara itu dalam beberapa bulan ke depan.
Jumlah orang yang pergi itu memang lebih kecil dari pada puncak eksodus Venezuela. Namun, mereka menghadapi kondisi yang jauh lebih buruk daripada mereka yang melarikan diri sebelum Covid-19.
Tempat penampungan tetap ditutup, pengemudi lebih enggan untuk mengambil tumpangan, dan penduduk setempat yang takut penularan cenderung tidak membantu memberi sumbangan makanan. "Kami hampir tidak mendapat tumpangan di sepanjang jalan,” kata Anahir Montilla merupakan juru masak dari negara bagian Guarico di Venezuela yang mendekati ibu kota Kolombia setelah bepergian bersama keluarganya selama 27 hari.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan, sebelum pandemi, lebih dari 5 juta warga Venezuela telah meninggalkan negaranya. Orang-orang paling miskin berjalan kaki melalui medan yang sering terik tetapi juga bisa sangat dingin. Para migran terpikat oleh prospek mendapatkan upah yang lebih tinggi dan mengirim uang kembali ke Venezuela untuk memberi makan keluarga mereka.
Ketika pemerintah di seluruh Amerika Selatan menutup ekonomi dengan harapan menghentikan penyebaran Covid-19, banyak migran mendapati diri tanpa pekerjaan. Lebih dari 100.000 warga Venezuela kembali ke negaranya.
Saat ini, penyeberangan darat dan jembatan resmi ke Kolombia masih ditutup. Kondisi itu memaksa para migran untuk melarikan diri melalui jalur ilegal di sepanjang perbatasan 2.200 kilometer dengan Venezuela.
Jalan tanah dikendalikan oleh kelompok perdagangan narkoba yang kejam dan organisasi pemberontak seperti Tentara Pembebasan Nasional. "Pemulangan migran Venezuela sudah terjadi meskipun perbatasan ditutup,” kata pejabat Komite Penyelamatan Internasional, sebuah organisasi nirlaba kemanusiaan yang membantu para migran, Ana Milena Guerrero.
Terlebih lagi, banyak yang sekarang terpaksa berjalan di dalam negara sendiri selama berhari-hari untuk mencapai perbatasan. Hal itu karena kekurangan gas yang telah mengurangi transportasi antar kota.
Begitu sampai di Kolombia, para migran biasanya berjalan di sepanjang jalan raya atau menunggu untuk mencari tumpangan. Namun, kondisi saat ini menjadi lebih sulit.
Bentangan jalan panjang yang menghubungkan kota perbatasan Cucuta ke Bucaramanga lebih jauh ke pedalaman dulunya merupakan rumah bagi 11 tempat penampungan bagi para migran. Sebagian besar telah diperintahkan untuk ditutup oleh pemerintah kota yang berusaha menahan infeksi virus corona.
Sebelum pandemi pecah, Douglas Cabeza telah mengubah gudang di samping rumahnya di Pamplona menjadi tempat penampungan yang menampung hingga 200 migran setiap malam. Sekarang dia meminjamkan kasur gym kepada mereka yang tidur di luar, berharap memberi mereka perlindungan dari hawa dingin.
“Ada banyak kebutuhan yang tidak terpenuhi. Namun, dengan gerakan kecil seperti ini, kami mencoba melakukan sesuatu untuk mereka," kata Cabeza.
Begitu para migran mencapai tujuan mereka, daftar kekhawatiran baru muncul. Tingkat pengangguran Kolombia naik dari 12 persen pada Maret menjadi hampir 16 persen pada Agustus. Mereka yang tidak mampu membayar sewa diusir dari rumah. Masalah rumit terjadi, lebih dari setengah dari semua warga Venezuela di Kolombia tidak memiliki status hukum.
Tapi, bagi banyak orang, prospek memperoleh penghasilan bahkan di bawah upah minimum merupakan suatu dorongan. Upah minimum bulanan Kolombia saat ini bernilai sekitar 260 dolar AS, jauh lebih tinggi 2 dolar AS di Venezuela.