REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI) Eko Prasojo mengatakan, sejumlah persoalan berpotensi terjadi apabila Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 tetap digelar dalam kondisi pandemi Covid-19. Salah satunya, kemungkinan pilkada hanya menjadi ritual atau demokrasi prosedural.
"Pilkada juga akan berpotensi menjadi ritualitas demokrasi atau prosedural demokrasi karena tadi 40 persen masyarakat tidak mau datang ke TPS (tempat pemungutan suara)," ujar Eko dalam diskusi daring, Senin (12/10).
Ia mengutip data Lembaga Survei Indonesia bahwa 20 sampai 46 persen warga enggan datang ke TPS pada 9 Desember mendatang. Sebab, ada risiko penularan Covid-19 maupun pelanggaran protokol kesehatannya.
"Jadi sebenarnya risikonya bukan hanya berkerumun tapi juga karena warga takut sehingga warga nggak datang ke TPS (tempat pemungutan suara), jadi tingkat partisipasi masyarakat jadi lebih rendah," kata dia.
Menurut dia, pilkada serentak tahun ini akan bersifat elitis karena tingkat partisipasi pemilih rendah. Kepala daerah yang akan terpilih melalui pilkada 2020 akan dipertaruhkan kepercayaannya karena sebagian pemilih tidak menggunakan hak pilih mereka.
Tak hanya itu, lanjut Eko, kualitas pilkada juga diperkirakan menurun karena minim interaksi antara calon kepala daerah dan masyarakat. Sebab, setiap kegiatan pilkada seperti kampanye disesuaikan dengan pembatasan protokol kesehatan yang menghindari interaksi fisik.
Kampanye pasangan calon yang biasanya digelar secara tatap muka melalui berbagai kegiatan pun dibatasi jumlahnya dan wajib mentaati protokol kesehatan. Sehingga pasangan calon dituntut mengupayakan kampanye daring.
"Kemudian tidak terjadi konsolidasi demokrasi lokal karena ini kan momentum pesta demokrasi, biasanya menjadi salah satu media untuk konsolidasi demokrasi lokal," tutur Eko.
Selain itu, Pilkada 2020 diprediksi akan diwarnai dengan praktik politik uang. Menurut Eko, banyak warga yang kesulitan ekonomi dalam situasi pandemi ini, seperti mereka yang kehilangan pekerjaan atau kekurangan pemasukan bisa mendapatkan sumber pemasukkan baru melalui pesta demokrasi pilkada.
"Ekonomi mungkin akan hidup karena banyak yang akan spend money, tapi ini juga bisa berpotensi menjadi money politik karena masyarakat yang kehilangan pekerjaan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi sehingga ini menjadi media," kata Eko.