REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Polisi Thailand membubarkan pengunjuk rasa pro-demokrasi yang berkemah di depan kantor perdana menteri. Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha pun memberlakukan darurat nasional yang 'ketat' di Bangkok.
Polisi anti huru-hara dari berbagai lokasi maju untuk mendorong mundur ratusan pengunjuk rasa yang bertahan di Government House, kediaman Prayuth. Polisi terlihat membawa para pengunjuk rasa dengan truk.
Operasi polisi dilakukan tidak lama setelah Prayuth mendeklarasikan darurat nasional ketat di Bangkok. Peraturan itu mengizinkan pihak berwenang mendorong mundur pengunjuk rasa.
Darurat nasional itu melarang pertemuan lebih dari lima orang. Secara teknis Thailand masih dalam masa darurat nasional virus corona.
Sebelum dibubarkan polisi, banyak pengunjuk yang sudah meninggalkan area demonstrasi setelah salah satu pemimpin aksi mengumumkan akan mengakhiri unjuk rasa di depan Government House. Tapi masih ada beberapa ratus demonstran yang bertahan.
Pengunjuk rasa juga mengumumkan aksi pindah ke lokasi yang berbeda. Namun, deputi juru bicara kepolisian Thailand Kissana Phathanacharoen memperingatkan pengunjuk rasa untuk tidak melakukan hal itu.
"Mereka yang mengajak unjuk rasa di Rajaprasong jelas melanggar hukum, mereka yang menghadiri unjuk rasa melanggar hukum, Anda tidak bisa mengatakan mereka tidak tahu perintahnya, kami membuatnya dengan jelas," kata Kissana dalam konferensi pers, Kamis (15/10).
Polisi mengatakan mereka menangkap lebih dari 20 orang karena melanggar masa darurat nasional. Mereka belum resmi didakwa. Di antaranya adalah para pemimpin aksi, Arnon Nampha, Parit Chiwarak, dan Prasiddhi Grudharochana.
Kelompok hak asasi manusia Amnesty International mengkritik tindakan keras polisi. Deputi regional Ming Yu Hah mendesak pihak berwenang Thailand 'untuk terlibat dalam dialog konstruktif dengan para pengunjuk rasa'.
"Berdasarkan event kemarin skala penangkapan pagi ini tampaknya tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, unjuk rasa berjalan dengan damai, langkah ini jelas untuk membungkam mereka membangkang, dan menabur ketakutan pada mereka yang bersimpati pada pengunjuk rasa," kata Amnesty International dalam pernyataan mereka.