REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Retno Wulandhari, Antara
Indikator Politik Indonesia pada Ahad (18/10) merilis hasil survei dengan tema 'Mitigasi Dampak Covid: Tarik Menarik Terkait Kepentingan Ekonomi dan Kesehatan'. Hasilnya, sebanyak 65,3 persen responden mempersepsikan bahwa ekonomi nasional buruk, dengan 10,3 persen di antaranya menganggap sangat buruk.
"Kami sempat melakukan survei face to face nasional di bulan Februari 2020, itu sesaat sebelum kita memasuki kondisi wabah. Saat itu mereka yang mengatakan kondisi ekonomi buruk itu hanya 24 persen, di bulan Mei melonjak menjadi 81 persen. Sementara yang mengatakan kondisi baik turun drastis. Ini kondisi ekonomi terburuk sejak tahun 2004," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam diskusi yang digelar secara daring, Ahad (18/10).
Kendati demikian, lanjut Burhanuddin, meskipun mayoritas mengatakan kondisi ekonomi nasional buruk, kecenderungan trennya mengalami penurunan jika dibanding survei bulan Juli (69,2 persen) dan Mei (81 persen). Pada survei bulan September, publik yang mengatakan kondisi ekonomi nasional buruk dan sangat buruk ada di angka 65,3 persen.
"Ini harus diapresiasi ya jadi ada langkah pemerintah yang menunjukkan perbaikan," ujarnya.
Menurut Burhanuddin, kelompok kelas menengah ke bawah paling merasakan dampak Covid-19 dibanding kelas menengah ke atas.
Burhanuddin menjelaskan, bahwa responden yang berpendidikan terakhir SD/SLTP, pendapatan rumah tangganya cenderung mengalami penurunan. Sementara responden yang pendidikannya tinggi, pendapatan rumah tangganya juga mengalami penurunan, namun tidak sebesar responden yang pendidikannya rendah.
"Kalau mau di-zoom in, yang paling terpukul efek Covid ini adalah masyarakat kelas menengah bawah," kata Burhanuddin dalam rilis hasil surveinya yang digelar secara daring, Ahad (18/10).
Dari sisi pendapatan, sebanyak 77,2 persen responden yang berpendapatan kurang dari Rp 2 juta mengatakan bahwa pendapatan mereka turun. Sedangkan hanya 32 persen responden berpendapatan lebih dari Rp 4 juta yang mengatakan pendapatan mereka turun.
"Semakin rendah tingkat pendapatan semakin turun kondisi ekonomi mereka pascapandemi. Itu pola yang pemerintah harus tepat melakukan mitigasi terutama soal ekonominya" ucapnya.
Untuk diketahui survei Indikator dilakukan pada 24-30 September 2020 dengan menggunakan 1.200 responden melalui metode simple random sampling. Sementara margin of error sebesar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Menanggapi itu, Anggota Komisi XI DPR Fraksi Partai Amanat Nasional Jon Erizal mengungkapkan, bahwa survei tersebut mendekati kondisi kenyataan saat ini.
"Kalau saya lihat survei itu mendekati kenyataan. Justru kalau survei itu bilang (kondisi ekonomi nasional) bagus jadi tanda tanya kan?," kata Jon kepada Republika, Senin (19/10).
Jon mengatakan, ekonomi Indonesia di kuartal II yang minus 5,32 persen dan ekonomi Indonesia di kuartal III yang diprediksi minus 3 persen menunjukan bahwa kondisi ekonomi nasional tidak sedang dalam keadaan baik. Oleh karena itu ia mendorong pemerintah untuk tidak hanya fokus pada penawaran (supply) tetapi juga perlu meningkatkan daya beli masyarakat (demand).
"Diharapkan bank-bank ini menyalurkan ke masyarakat. Tapi kalau masyarakat itu tidak punya daya beli, mau jualan apa pun, maupun bunga serendah mungkin tidak akan jadi produktif kan," ujarnya.
Namun demikian, dirinya juga mengapresiasi langkah pemerintah yang telah memberikan sejumlah insentif ke masyarakat. Ia mencontohkan, misalnya bantuan subsidi gaji untuk pekerja formal yang gajinya dibawah Rp 5 juta.
"Tapi pelaksanaan itu agak lambat kan. Kalau itu dipacu pada saat awal-awal kondisi kita minus, mungkin akan membantu munculnya permintaan," tuturnya.
Optimisme Menkeu
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut ekonomi Indonesia sudah menunjukkan tren pemulihan pada kuartal ketiga tahun ini. Perbaikan sudah mulai terlihat sejak kuartal kedua meski sebagian besar masyarakat masih beraktivitas dari rumah atau work from home (WFH).
"Kalau kita lihat mobilitas masyarakat kelihatan bahwa sudah terjadi tren perbaikan pada bulan antara Juli sampai dengan Agustus dan bertahan di bulan September," kata Sri dalam acara Capital Market Summit Expo (CMSE), Senin (19/10).
Sri berharap, momentun pemulihan ini dapat terus terjaga. Sri mengakui pengetatan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta pada pertengahan September lalu memberikan dampak terhadap beberapa aktivitas ekonomi sehingga tren perbaikan sempat melemah.
Dalam situasi saat ini, Sri mengatakan, kondisi perekonomian di Indonesia masih relatif cukup baik. Sebagai perbandingan, sebagian besar negara-negara di Eropa mengalami kontraksi bahkan di atas 20 persen pada kuartal kedua. Spanyol tumbuh minus 21,1 persen dan Inggris kontraksi 21,7 persen.
Di kuartal ketiga, Spanyol diproyeksi masih akan terkontraksi di atas 12 persen sedangkan Inggris terkontraksi di atas 10 persen. Di deretan negara tetangga, pertumbuhan ekonomi juga mengalami kontraksi yang lebih dalam dari Indonesia.
Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina mengalami kontraksi di atas 10 persen. Untuk kuartal ketiga, negara-negara tersebut masih menghadapi kontraksi yang sangat dalam di atas 4 persen.
Sri optimistis ke depannya tren perbaikan di Indonesia akan terus berlanjut. Ia memproyeksikan ekonomi Indonesia di kuartal ketiga masih akan terkoreksi dalam kisaran minus 1,7 persen hingga minus 0,6 persen. Meski demikian, pertumbuhan tersebut akan lebih baik dibandingkan kuartal kedua yang kontraksi 5,3 persen.
"Kita relatif dalam situasi yang cukup baik meskipun ini tentu tidak membuat kita terlena. Kita tetap berusaha untuk mengembalikan perekonomian kita kepada zona positif," tutur Sri.
Chief Economist Danareksa Research Institute Moekti Prasetiani Soejachmoen memprediksi pada kuartal III 2020 pertumbuhan ekonomi masih akan terkontaksi. Namun, ia memperkirakan kondisinya tak akan seburuk kuartal sebelumnya.
"Sepertinya pada kuartal III ini minus kembali tetapi tidak sebesar kuartal II lalu yang pertumbuhan tumbuh negatif 5,32 persen," kata Moekti dalam pernyataan di Jakarta, Ahad (18/10).
Menurut Moekti, potensi resesi secara teknis kian dekat, terlebih beberapa indikator juga menunjukkan kondisi perekonomian nasional masih dalam kondisi tertekan akibat pandemi Covid-19. Seperti turunnya Purchasing Managers Index (PMI) pada September yang hampir empat poin, dari 50,8 pada Agustus, menjadi 47,2.
"Padahal, PMI kita sempat ke level 50 yang artinya sudah aman," ujar Moekti.
Indikator lainnya yaitu semakin marak perusahaan melakukan tindakan pemotongan hubungan kerja (PHK) terhadap pegawainya, hingga turunnya minat investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia selama pandemi berlangsung.
"Hal ini karena situasi ekonomi global dan Indonesia masih penuh ketidakpastian. Kan ekspor dan impor juga masih mengalami pelemahan, belum tumbuh normal," katanya.
Moekti mengungkapkan, bantalan ekonomi nasional hingga akhir tahun ialah dari pengeluaran pemerintah. Maka dari itu, dia mendorong adanya peningkatan belanja pemerintah untuk percepatan pemulihan ekonomi nasional di tengah pandemi Covid-19.
"Satu-satunya komponen yang bisa menggenjot PDB adalah belanja pemerintah. Itu sebabnya negara harus melakukan stimulus fiskal dengan melakukan pengeluaran lebih besar dari biasanya," ujar Moekti.