REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA--Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan dalam pidatonya, Selasa (20/10), mengatakan bahwa inisiatif Presiden Prancis, Emmanuel Macron untuk mereformasi institusi Islam di negara itu, tidak lain sebagai upaya pelemahan Muslim. Erdogan juga menganggap keputusan Macron untuk menciptakan istilah separatisme Islam, sebagai upaya untuk menciptakan krisis dan menargetkan Islam, dengan harapan kegagalan mereka akan tertutupi.
Menurut pemimpin Turki, mereka yang peduli dengan kebangkitan Islam menciptakan krisis yang mereka gunakan sebagai alasan untuk menyerang Islam dan menutupi kegagalan mereka sendiri.
"Tujuan utama dari inisiatif seperti yang dipimpin oleh Macron adalah untuk menyelesaikan masalah lamanya dengan Islam dan Muslim," kata Erdogan, seperti dikutip di Sputnik News, Rabu (21/10).
Menyusul pembunuhan seorang guru bahasa Prancis pekan lalu, sebuah rancangan undang-undang, berisi larangan pembenaran kejahatan dengan motif etnis atau agama atas dasar konstitusional, telah diajukan ke Senat Prancis. RUU itu diresmikan kembali pada 2 Oktober, beberapa pekan sebelum tragedi di salah satu pinggiran kota Paris terjadi dan memicu gelombang baru sentimen anti-Islam di seluruh Prancis.
Macron mengatakan RUU itu akan menyiratkan aturan wajib netralitas bagi karyawan perusahaan layanan publik yang harus mereka ikuti saat melakukan pekerjaan mereka untuk menghindari manifestasi separatisme. Selain itu, hal ini memberi negara kekuatan untuk turun tangan jika otoritas lokal membuat konsesi yang tidak dapat diterima bagi Muslim dan membatasi homeschooling untuk menghindari anak-anak "diindoktrinasi".
RUU itu diklaim dapat memperketat kontrol atas pengaruh asing pada Islam dan pendanaan untuk masjid, dan mempromosikan pelatihan domestik para imam. Di sisi lain, RUU itu memicu reaksi keras dari komunitas Muslim di Prancis - terbesar di Eropa - yang mengecam RUU itu sebagai bentuk Islamofobia dan diskriminatif.
Kebijakan Prancis terhadap Muslim bukan satu-satunya batu sandungan dalam hubungan antara Macron dan Erdogan. Para pemimpin saling mengkritik selama beberapa bulan terakhir, karena kepentingan negara bertabrakan di Mediterania Timur. Ketegangan tinggi di wilayah tersebut sehubungan dengan kegiatan pengeboran Ankara di perairan yang diklaim Yunani.
Sebelumnya, Presiden Prancis, Emmanuel Macron mengecam pembunuhan yang menewaskan Samuel Paty, seorang guru sejarah di Conflans-Sainte-Honorine, barat laut Paris, yang ditemukan meninggal pada Jumat (16/10), dengan keadaan kepala terpenggal.
Sumber: