REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan sikap beberapa negara Eropa berlebihan dengan mencoba mendefinisikan dan mereformasi Islam. Selama konferensi pers setelah pertemuan Kabinet Presiden di Ankara pada Selasa (3/11), dia mengatakan jika pelaku serangan adalah seorang Muslim, mereka menyebutnya sebagai serangan terror.
“Tetapi jika penyerang non-Muslim, mereka mengatakan itu adalah insiden atau tersangka memiliki masalah mental," kata Erdogan dilansir TRT World, Rabu (4/11).
Komentarnya muncul saat sentimen anti-Islam dan anti-Muslim menyebar ke seluruh Eropa. Pada Senin, seorang teroris melepaskan tembakan dan menewaskan sedikitnya empat orang di sejumlah jalan ibu kota Austria, Wina.
Pekan lalu, Erdogan mengatakan sebuah masalah kehormatan untuk melawan serangan terhadap Nabi Muhammad dalam pidato parlemen kepada partainya. "Sayangnya, kita berada dalam periode di mana permusuhan terhadap Islam dan Muslim dan rasa tidak hormat terhadap Nabi menyebar seperti kanker. Terutama di antara para pemimpin di Eropa,” ujar dia kepada kelompok parlemen Partai Keadilan dan Pembangunan (AK).
Erdogan mencatat Prancis dan Eropa pada umumnya berhak mendapatkan yang lebih baik daripada kebijakan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang kejam, provokatif, dan penuh kebencian. "Kami menyerukan kepada orang Eropa yang bijaksana untuk mengambil tindakan melawan tren berbahaya ini atas nama diri mereka sendiri dan anak-anak mereka demi masa depan yang cerah," ujar dia.
Awal bulan ini, Macron menuduh Muslim Prancis separatisme dan menggambarkan Islam sebagai agama yang mengalami krisis di seluruh dunia. “Tidak ada Muslim yang bisa menjadi teroris, begitu pula teroris tidak bisa menjadi Muslim. Teroris adalah orang berhati hitam dan pembunuh berdarah yang tidak ragu-ragu membunuh orang yang tidak bersalah untuk mencapai tujuannya sendiri,” ucap Erdogan.