Senin 09 Nov 2020 09:59 WIB

Kemenangan Biden Dorong IHSG Menguat di Awal Pekan

Indeks di pasar saham mayoritas menguat menyambut kemenangan Biden dalam Pilpres AS.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Nidia Zuraya
Karyawan melintas didekat layar elektronik pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta (ilustrasi). Indeks di pasar saham mayoritas menguat menyambut kemenangan Biden dalam Pilpres AS.Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika
Karyawan melintas didekat layar elektronik pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta (ilustrasi). Indeks di pasar saham mayoritas menguat menyambut kemenangan Biden dalam Pilpres AS.Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pergerakan pasar saham pekan ini diperkirakan masih akan diwarnai sentimen hasil pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS). Joe Biden diperkirakan menjadi presiden terpilih AS dengan perolehan suara elektoral sementara 279, jauh melampaui suara minimal untuk menang dari Donald Trump. 

Indeks di pasar saham mayoritas menguat menyambut kemenangan Biden dalam Pilpres AS. Hal tersebut pun mendorong pasar saham domestik bergerak di zona positif pada perdagangan awal pekan ini, Senin (9/10). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menguat sebesar 1,12 persen atau naik signifikan 59 poin ke level 5.395,07. 

Baca Juga

Direktur Anugerah Investama Sekuritas, Hans Kwee mengatakan, kemenangan Biden berpotensi meredam perang dagang antara China dan AS. Ada harapan perang dagang AS dengan China, Eropa dan Meksiko akan berhenti.

Menurut Hans, hal ini akan cenderung membuat risiko pasar turun dan demikian juga votalitas pasar. Sejumlah mata uang dunia akan cenderung menguat terhadap dolar AS termasuk Yuan, Euro, dan mata uang lainnya. 

"Rupiah tidak tertinggal dan dalam beberapa hari mengalami penguatan signifikan. Ini juga mendorong dana masuk ke aset berisiko di emerging market," kata Hans, Senin (9/11).

Hans melihat dana asing berpotensi masuk kembali ke emerging market. Obligasi pemerintah Indonesia juga berpotensi mendapatakn sentimen positif karena nilai tukar Rupiah yang dianggap undervalued, biaya lindung nilai yang relatif rendah dan Yield US Treasury masih akan tetap rendah.

Harapan stimulus fiskal AS yang besar nampaknya sedikit berkurang menyusul potensi gagalnya gelombang biru Demokrat. Partai Republik diperkirakan masih mengontrol Senat dan Partai Demokrat di DPR AS. Hal ini berpotensi menyulitkan Biden dan Demokrat meloloskan kebijakan stimulus fiskal dalam jumlah besar. 

"Tertundanya kebijakan fiskal sangat mungkin mendorong Federal Reserve mengeluarkan kebijakan moneter yang lebih akomodatif. Hal ini menjadi keuntungan bagi pasar negara berkembang," ujar Hans.

Dari dalam negeri, pasar merespons positif ekonomi Indonesia pada kuartal ketiga 2020 meski resmi mengalami resesi dengan tumbuh negatif 3,49 persen. Pertumbuhan ini masih lebih baik dari kuartal kedua yang tumbuh negatif 5,32 persen. Kondisi ini juga lebih baik dari banyak negara lain di dunia. 

Hans mengatakan, pasar saham dunia termasuk Indonesia di awal pekan diperkirakan menguat menyambut kemenangan Biden. Tetapi sesudah itu sangat rawan mengalami aksi profit taking akibat kenaikan yang banyak pada minggu lalu. Selain itu potensi sengekta politik di AS membawa peluang pelaku pasar melakukan aksi ambil untung. 

"Potensi sengketa pemilu sangat mungkin terjadi. Hal ini tidak lepas dari metode pemilihan umum yang dilakukan," tutur Hans.

Selain sentimen positif, Hans menambahkan, pergerakan pasar juga masih diwarnai sentimen negatif dari perkembangan Covid-19. Kenaikan kasus Covid-19 menjadi perhatian pelaku pasar. 

Peningkatan kasus telah memaksa beberapa negara melakukan penguncian kembali dan cenderung menghalangi trend pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung. Inggris memasuki penguncian kedua untuk menekan peningkatan jumlah kasus Covid-19. Italia dan Norwegia juga memperketat pembatasan akibat naiknya kasus Covid-19. 

Biden juga dianggap lebih pro kesehatan sehingga berpotensi mendorong terjadinya lockdown yang ketat di Amerika Serikat untuk mengatasi pandemi Covid-19 yang sekarang terjadi. "Penguncian ekonomi akibat pendemi berpotensi menurunkan aktivitas ekonomi dan berpotensi mendorong pasar saham terkoreksi," terang Hans. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement