REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia mengatakan Prancis dan Amerika Serikat (AS) akan mengirim diplomat ke Moskow untuk membahas konflik Nagorno-Karabakh. Hal itu disampaikan dua hari setelah Kremlin mengerahkan pasukan ke perbatasan itu untuk mengamankan perjanjian damai.
Pasukan perdamaian Rusia mengawasi gencatan senjata antara Armenia dan Azerbaijan. Keberadaan pasukan itu memperluas jejak militer Rusia di negara bekas wilayah Uni Soviet yang strategis.
Bersama Washington dan Paris, Moskow salah satu ketua kelompok internasional yang memantau sengketa Nagorno-Karabakh. Tapi AS dan Prancis tidak terlibat dalam kesepakatan yang ditandatangani Rusia dengan Armenia dan Azerbaijan untuk mengakhiri perang enam pekan di perbatasan tersebut.
"Kami tidak ingin menjauhkan diri dari mitra Amerika dan Prancis kami, terutama kami telah mengundang mereka ke Moskow, mereka akan tiba dalam beberapa hari ke depan untuk membahas bagaimana mereka bisa berkontribusi untuk mengimplementasikan perjanjian yang sudah diraih," kata Menteri Luar Negeri Rusia Sergie Lavrov, Jumat (13/11).
Perjanjian yang menguntungkan pasukan Azerbaijan terhadap pasukan Armenia di Nagorno-Karabakh itu memicu unjuk rasa dari masyarakat Armenia. Mereka menuntut Perdana Menteri Nikol Pashinyan untuk mengundurkan diri.
Ribuan orang turun ke jalan-jalan ibu kota Yerevan, sambil berteriak 'Nikol pengkhianat'. Mereka pindah ke markas Badan Keamanan mendesak sejumlah pemimpin oposisi dan aktivis yang ditahan dibebaskan.
Pashinyan yang terpilih pada 2018 usai unjuk rasa yang menggulingkan pemerintah sebelumnya mengatakan ia menandatangani kesepakatan itu untuk mengamankan perjanjian dan menyelamatkan nyawa.
Warga Armenia yang tinggal di Nagorno-Karabakh yang telah kehilangan 1.300 orang menerima kesepakatan itu dengan perasaan campur-aduk. Tapi mereka menyambut pasukan perdamaian Rusia dengan baik.
"Kami senang pasukan perdamaian datang tapi di saat yang sama kami sedih kami menyerahkan wilayah kami," kata sopir berusia 45 tahun Armen Manjoyan, di depan rumahnya di desa Yelpin yang terletak antara Yerevan dan perbatasan Azerbaijan.
"Kami memperjuangkannya, tapi ternyata sia-sia, saya pikir ini bukan keputusan yang tepat," katanya.
Turki yang membantu Azerbaijan dalam konflik itu menandatangani sebuah protokol dengan Rusia, perjanjian mendirikan gedung untuk mengkoordinasikan upaya pemantauan perjanjian damai.