REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Politisi-politisi Barat menyalahkan China atas keterlambatan memberikan informasi mengenai virus corona. Kini demi mendapatkan kembali kepercayaan internasional, Beijing dinilai harus transparan dalam proses pengembangan vaksin Covid-19.
Pada pekan ini perusahaan Jerman BioNTech dan perusahaan Amerika Serikat (AS) Pfizer mengumumkan vaksin yang mereka kembangan 90 persen efektif mencegah penularan Covid-19. Temuan awal itu memicu gejolak di pasar saham dan produsen vaksin berlomba menemukan vaksin.
Di saat yang sama uji coba salah satu kandidat vaksin yang China kembangkan dihentikan di Brasil karena adanya masalah serius. Walaupun Brasil memulai kembali uji coba 48 jam kemudian tapi insiden ini memicu ketegangan politik seputar pengembangan vaksin.
Pada bulan lalu, Presiden Brasil Jair Bolsonaro mengatakan kredibilitas China lemah dan masyarakat tidak merasa aman dengan suntikan mereka 'karena asalnya'. Konsultan kesehatan dan ilmu alam, Albright Stonebridge Group, Xiaoqing Lu Boynton mengatakan China harus segera mengatasi persepsi publik.
"Saat China terus mengembangkan vaksin mereka sendiri melalui uji klinis tahap terakhir di tengah pengumuman Pfizer, yang harus Beijing lakukan mengatasi persepsi publik mengenai keamanan vaksin karena semakin mendesak," kata Boynton seperti dikutip The Strait Times, Jumat (13/11).
Bagi China, keberhasilan mengembangkan vaksin sangat penting terutama untuk memperbaiki hubungan dengan AS, Eropa, India dan Australia yang memburuk usai wabah virus corona muncul di Wuhan awal tahun lalu. Beijing berhasil mengendalikan wabah dengan cepat dan membantu masyarakat internasional mengatasi pandemi.
Namun, negara-negara lain gagal melakukan dan menyalahkan China sebagai negara pertama yang mendeteksi wabah tersebut. China juga perlu memastikan keberhasilan mereka dalam mengembangkan vaksin.
Demi menunjukkan pada dunia keunggulan teknologi mereka di saat pemerintahan Presiden AS Donald Trump mendesak negara-negara lain untuk tidak menggunakan perusahaan China membangun jaringan 5G atas alasan keamanan.
Mendistribusikan vaksin juga akan membantu China untuk memperkuat kembali upaya diplomasi mereka. Presiden Xi Jinping berjanji vaksin yang dikembang China akan 'untuk kebaikan bersama' dan ia bergabung dengan inisiatif yang dipimpin Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menginokulasi semua orang.
"Masalahnya bagi saya barang publik global dan barang publik China dua hal yang berbeda," kata duta besar Uni Eropa untuk China Nicolas Chapuis.
Ia memuji keputusan China untuk bergabung dalam program vaksin WHO. Tapi, ia masih mempertanyakan isu distribusi, harga dan sertifikasi internasional vaksin China.
"Untuk dapat disertifikasi sampelnya harus diberikan, sampel belum diberikan," kata Chapuis.
China sudah berjanji untuk memprioritaskan vaksin untuk 60 negara lebih termasuk pemerintah yang menerima dana pinjaman pembangunan infrastruktur dari program Belt and Road Initiative. Indonesia, Bangladesh, Pakistan, dan Maroko telah membuat kesepakatan dengan pabrik vaksin China.
Negara-negara Amerika Latin dan Karibia sudah dijanjikan 1 miliar dolar AS untuk digunakan membeli vaksin-vaksin tersebut. Tetapi pengembangan vaksin China di Brasil sempat tertahan saat vaksin dari AS dan Jerman melaporkan terobosan mereka.
"Hal ini membawa diplomasi vaksin China berada dalam bahaya," kata dosen hubungan internasional Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, Yongwook Ryu.
BACA JUGA: 28 Tahun Bisu, Kini Suara Adzan Terdengar Lagi di Kota Eks-Jajahan Armenia