Selasa 24 Nov 2020 16:17 WIB

Harga Gula Pasir Masih Lebih Tinggi dari Acuan

Situasi saat ini masih jauh untuk bisa mencapai swasembada gula agar harga stabil

Rep: Dedy Darmawan Nasution / Red: Hiru Muhammad
Karyawan Bulog memasang tanda penjualan gula pasir sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) di salah satu kios saat Operasi Pasar Gula Pasir Bulog di Pasar Bulu, Semarang, Jawa Tengah, Senin (18/5/2020). Operasi Pasar yang digelar Perum Bulog Kanwil Jateng itu untuk memastikan ketersediaan gula pasir yang dijual sesuai dengan HET yaitu Rp12.500
Foto: Antara/Aji Styawan
Karyawan Bulog memasang tanda penjualan gula pasir sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) di salah satu kios saat Operasi Pasar Gula Pasir Bulog di Pasar Bulu, Semarang, Jawa Tengah, Senin (18/5/2020). Operasi Pasar yang digelar Perum Bulog Kanwil Jateng itu untuk memastikan ketersediaan gula pasir yang dijual sesuai dengan HET yaitu Rp12.500

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Harga gula pasir dalam negeri diakui masih lebih tinggi dari harga acuan yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 12.500 per kilogram (kg). Tingginya harga gula dalam negeri terjadi disaat harga dunia mengalami penurunan.

"Tren harga pangan dan pertanian dunia mulai mengalami penurunan. Di Indonesia naik signifikan awal 2020 sampai saat ini sudah melandai tapi masih lebih tinggi dari harga eceran yang ditetapkan," kata Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Perekonomian, Musdalifah, dalam National Sugar Summit, Selasa (24/11).

Mengutip Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), pada Selasa (24/11) gula pasir kualitas premium masih tetap dihargai Rp 15.850 per kg. Harga cenderung stabil tinggi dalam sepekan terakhir.

Ia mengatakan, situasi saat ini masih jauh untuk bisa mencapai swasembada gula agar harga dapat stabil. Karena itu, ia mengatakan, revitalisasi perkebunan dan pabrik gula menjadi cara utama untuk meningkatkan daya saing industri gula nasional.

Musdalifah menambahkan, pemerintah setidaknya mendorong peningkatan kinerja untuk perusahaan gula pelat merah. Namun, peningkatan kinerja itu sangat ditentukan dari efisiensi dari sisi proses budidaya maupun pasca panen.

Saat ini, kondisi dalam budidaya mengalami tiga kendala. Di antaranya utilisasi pabrik yang tidak optimal, persaingan tidak sehat antar pabrik gula karena ketidakjelasan area kerja, serta profitabilitas pabrik menurun.

Adapun, pada tahap pasca panen, dari 48 pabrik gula yang dimiliki BUMN, hanya 25 persen yang memiliki kapasitas di atas 4.000 tone cane per day (tcd). Mayoritas pabrik gula milik BUMN berkapasitas 2.000-3.900 tcd dan 27 persen berkapasitas 2.000 tcd.

Musdalifah menerangkan, pemerintah sudah menyusun solusi pembenahan industri gula pasir, baik dari sisi petani, industri, dan konsumen. Pada sisi petani, pemerintah telah mengatur sistem pembelian tebu petani serta sejumlah program budidaya oleh Kementerian Pertanian.

Pada sisi industri, insentif diberikan kepada pengusaha agar mendapatkan kepastian investasi. Pemerintah juga memacu pabrik gula untuk menghasilkan produksi berdaya saing melalui pemberlakukan penyatuan Standar Nasional Indonesia (SNI) antara gula kristal putih dan gula rafinasi.

Terakhir, dari sisi konsumen, upaya penyediaan gula dengan harga terjangkau tetap dilakukan dengan menjaga ketersediaan pasokan sembari produksi terus ditingkatkan.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Didi Sumedi mengatakan, harga komoditas mencerminkan dua sisi yang harus diperhatikan. Jika harga gula tinggi, akan menyulitkan masyarakat dan mendongkrak laju inflasi. Di sisi lain, jika harga rendah khususnya gula lokal, akan merugikan petani.

Didi menegaskan, perlu ada ketegasan dari pemerintah agar harga acuan yang dibuat bisa diterapkan. Ia pun meminta semua pihak terkait untuk ikut menjaga harga agar tetap stabil meskipun masih dipenuhi dari pasokan impor.

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement