REPUBLIKA.CO.ID, WINA—Austria memiliki sejarah panjang rasisme, khususnya terhadap orang Yahudi. Namun kini tempat kelahiran Adolf Hitler itu tampak telah mengalihkan sasaran ke Muslim.
Serangan senjata ganda di Wina yang menewaskan empat orang dan melukai 22 orang pada 2 November lalu, di mana pelaku diidentifikasikan oleh polisi sebagai teroris Islam dan kini telah ditembak mati.
Sejak peristiwa tragis dimana 30 pemimpin Muslim Austria yang digerebek rumah mereka dan diinterogasi polisi, dua masjid ditutup, dan pemerintah Austria telah mengumumkan RUU untuk melarang "Politik Islam" yang akan disidangkan di Parlemen awal 2021 mendatang.
Penggerebekan terhadap aktivis dan organisasi Muslim itu terjadi meskipun kurangnya bukti yang menghubungkan para aktivis dengan aksi terorisme. Sebagian besar dari mereka tampaknya menargetkan Palestina dan Mesir yang dianggap memiliki ikatan dengan Ikhwanul Muslimin.
Tetapi tidak seperti situasi di Prancis, hanya sedikit yang sadar tentang rasisme di Austria. Meski ada sekitar 700.000 Muslim di Austria dari total populasi hampir 8 juta orang. Sekitar 50 persen dari mereka berasal dari Turki dan Yugoslavia.
Namun terlepas dari populasinya, komunitas Muslim masih cukup lemah dalam hal kehadiran politik dan media. Selain itu, kepemimpinannya masih generasi pertama dan karena itu lebih cenderung memiliki sikap patuh terhadap otoritas, dan masih ada kebungkaman virtual dari komunitas Muslim setelah penggerebekan dan penutupan masjid.
Undang-Undang Islam 2015 secara efektif memberikan kendali negara atas Islam di Austria. Undang-undang memberikan kekuasaan kepada negara untuk menunjuk sebuah badan Muslim yang mereka tangani secara unik dan pada gilirannya badan Muslim ini mengawasi komunitas Muslim pada umumnya.
Dalam beberapa tahun terakhir Austria telah mengambil beberapa tindakan anti-Muslim. Pada 2015, ketika Kanselir saat ini Sebastian Kurz adalah Menteri Austria untuk Eropa, dia mendukung undang-undang yang, antara lain, melarang pendanaan asing untuk masjid dan imam di Austria. Undang-undang kontroversial, yang akhirnya disahkan oleh Parlemen, dimaksudkan untuk mengembangkan Islam dengan "karakter Eropa," menurut Kurz. Dia juga mengatakan langkah itu adalah tindakan keras terhadap politik Islam.
Pada 2017, pemerintah Austria mengeluarkan undang-undang baru yang melarang wanita Muslim mengenakan cadar di tempat umum. "Burqa Ban" menyatakan bahwa wajah harus terlihat dari garis rambut ke dagu di tempat umum dan juga termasuk masker ski di luar lereng dan masker bedah di luar rumah sakit. Wanita Muslim yang mengenakan niqab dan burqa di tempat umum bisa dikenai denda 150 Euro di tempat.
Dan pada 2019, Parlemen Austria menyetujui undang-undang yang melarang anak perempuan di sekolah dasar mengenakan jilbab. Undang-undang tersebut mendapat dukungan dari koalisi yang mengatur Partai Rakyat konservatif Kanselir Sebastian Kurz (ÖVP) dan Partai Kebebasan sayap kanan (FPÖ), sementara hampir semua oposisi memberikan suara menentangnya.
Kanselir sayap kanan akhirnya ingin memperluas undang-undang ini ke universitas dan lembaga publik, tetapi beberapa kebijakannya mungkin dimoderasi oleh Partai Hijau yang bekerja sama dengannya. Namun demikian, situasi Muslim Austria tetap genting - tertindas di dalam negeri dan dengan sedikit dukungan internasional.
Sumber:
http://5pillarsuk.com/2020/11/30/austrias-slide-into-anti-muslim-fascism/