REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Ketika turun wahyu pertama, perasaan takut meliputi diri Nabi Muhammad SAW. Hal ini disebabkan karena pengalaman pertama yang beliau alami ketika menerima wahyu “iqra” yang disampaikan sosok Jibril di Gua Hira.
Pakar Tafsir asal Indonesia, Prof Quraish Shihab, menjelaskan, kala menerima wahyu pertama Rasulullah SAW dirangkul sedemikian kuatnya oleh malaikat. Hal ini sebagaimana yang diakui Nabi dengan redaksi: “Telah kurasakan (puncak) kepayahan,”. Atau dengan redaksi lain pada riwayat At-Thabrani: “Aku mengira bahwa itulah (proses awal) kematian,”.
Dijelaskan pula bahwa, rasa takut Nabi dimungkinkan pula akibat pandangannya kepada malaikat yang diberi sifat oleh Alquran sebagai “yang mempunyai kekuatan di sisi Allah, Pemiliki Arsy,”. Rasa takut yang dialami Rasulullah SAW sesungguhnya bukanlah kali pertama terjadi pada para Nabi.
Dalam sejarah, sejumlah Nabi juga kerap didera rasa takut seperti Nabi Musa hingga Nabi Ibrahim. Rasa takut yang Allah sisipkan kepada para Nabi ini sesungguhnya menggambarkan bahwa meskipun Nabi memiliki keistimewaan-keistimewaan dari segi spiritual, namun mereka tak luput dari naluri kemanusiaan seperti rasa takut.
Memang tidak mungkin bagi seorang manusia untuk tidak merasa gentar atau takut ketika menghadapi untuk pertama kalinya hal-hal semacam itu. Demikian juga halnya dengan ‘keraguan’ pada awal penerimaan wahyu. Alquran tidak melarang seseorang ragu, selama keraguan terhadap kebenaran tidak disertai dengan berburuk sangka.
Nabi Ibrahim pun pernah merasakan ragu menyangkut kuasa Allah dalam menghidupkan yang mati. Lalu kemudian beliau menanyakan hal itu, lalu Allah bertanya balik kepadanya: “Awalam tu’min,”. Yang artinya: “Apakah engkau belum beriman?”.
Kemudian Nabi Ibrahim menjawab: “Bala, walakin liyathma’inna qalbiy,”. Yang artinya: “Aku telah percaya. Akan tetapi (aku bertanya) agar hatiku mantap,”. Dalam Tafsir Al-Qurthubi, Prof Quraish mengutip, ditemukan riwayat bahwa Nabi SAW berkomentar menyangkut sikap Nabi Ibrahim dengan bersabda: “Nahnu awla bissyakki min Ibrahima,”. Yang artinya: “Kita lebih ragu dibanding Ibrahim,”.
Memang, keraguan jika dihadapi dengan benar tanpa berburuk sangka dapat mendorong untuk merenung. Sehingga pada akhirnya kebenaran tersebut dapat ditemukan. Terlebih kebenaran ini merupakan kebenaran yang hakiki.
Pesan wahyu pertama
Sungguh mengherankan perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dalam wahyunya yang pertama mengenai Iqra (bacalah). Padahal yang diperintah adalah seseorang yang tidak pandai membaca dan menulis. Namun demikian keheranan itu segera akan sirna begitu umat Islam menyadari bahwa membaca adalah tangga pertama menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Maka perintah pertama itulah: “Bacalah demi karena Tuhanmu,” tidak menyebut objek bacaan. Melainkan motivasi untuk tujuan membaca, yakni bismi Rabbika (demi karena Tuhanmu). Di sisi lain, kata Iqra dapat digunakan pula untuk objek apapun. Dengan demikian ayat pertama dari wahyu pertama ini menunjukkan untuk menuntut manusia membaca apa saja.
Baik yang tertulis maupun yang terhampar. Bahkan yang buruk pun boleh dibaca selama motivasinya adalah Bismi Rabbika. Selama tujuannya adalah kepada Allah dan juga proses membaca itu selalu diiringi dengan motivasi ketuhanan dan keimanan, maka tidak ada larangan yang berarti dalam membaca.
Asalkan segala nafas atau tindak-tanduk manusia selalu diiringi dan sarat atas kebaikan. Melalui pesan Iqra, Allah memerintahkan manusia untuk membaca, meneliti, mencermati, dan melakukan proses mengenali diri, hidup, dan Rabb-nya.