REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Presiden Iran pada Rabu (2/12) mengkritik rencana parlemen untuk menurunkan lebih lanjut komitmen Iran di bawah kesepakatan nuklir 2015 sebagai tanggapan atas pembunuhan ilmuwan nuklir Mohsen Fakhrizadeh.
Berbicara pada pertemuan kabinet di Teheran, Presiden Hassan Rouhani menyebut rencana itu sebagai langkah "berbahaya" untuk hubungan diplomatik. Pada Selasa (1/12), parlemen Iran mengadopsi resolusi yang mengharuskan pemerintah untuk melanjutkan pengayaan uranium 20 persen dan meningkatkan persediaan uranium yang diperkaya rendah (LEU).
Rencana tersebut, yang masih membutuhkan persetujuan, menyerukan untuk mengakhiri implementasi "sukarela" dari Protokol Tambahan, memberikan batas waktu satu bulan kepada pemerintah. Pada Selasa kemarin, juru bicara pemerintah Ali Rabiee mengatakan parlemen "tidak memiliki hak" untuk campur tangan dalam hal-hal yang berkaitan dengan kesepakatan nuklir 2015.
Rabiee mengecam tindakan para anggota parlemen, dan mengatakan rencana yang diusulkan yang konon ditujukan untuk "mengakhiri sanksi" akan mengarah pada "sanksi permanen" terhadap Iran. Rouhani dijadwalkan untuk mempresentasikan rancangan anggaran tahun depan di parlemen pada Rabu ini, tetapi dia memberikan tugas tersebut kepada wakilnya di parlemen.
Menanggapi spekulasi bahwa rencana parlemen Iran itu dapat menyebabkan perubahan dalam rencananya, Rouhani mengatakan ketidakhadirannya di parlemen adalah karena "kepatuhan terhadap protokol kesehatan".
Pembunuhan ilmuwan penting Iran, yang diklaim Teheran dilakukan oleh musuh bebuyutannya, Israel, telah menyebabkan serangkaian aksi demonstrasi di seluruh negeri.