REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengungkap sejumlah potensi pelanggaran tindak pidana pemilihan dalam tahapan pemungutan dan penghitungan suara (pungut hitung). Ada lima potensi pelanggaran yang aturannya sudah tercantum dalam 15 pasal di Undang-Undang Pilkada terkait pidana pemilihan dalam proses pungut hitung.
"Potensi pelanggaran berupa bentuk intimidasi kepada pemilih terkait dengan pengaturan Pasal 178 dan Pasal 182A," ujar Anggota Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo dalam rapat koordinasi Sentra Gakkumdu, Kamis (3/12).
Ia melanjutkan, politik uang pun menjadi praktik yang rawan terjadi. Pihak yang terlibat dalam politik uang baik pemberi maupun penerima terjerat tindak pidana pemilihan sesuai ketentuan Pasal 187A ayat 1 dan ayat 2.
Berikutnya, tindakan mencoblos lebih dari sekali atau mencoblos sisa surat suara. Perbuatan ini melanggar Pasal 178A, Pasal 178B, dan Pasal 178C karena menyebabkan orang lain kehilangan hak pilih, mengaku sebagai orang lain untuk menggunakan hak pilih, atau memberikan suara lebih dari satu kali di satu tempat pemungutan suara (TPS) atau lebih.
Lalu, mengubah perolehan suara juga termasuk tindak pidana pemilihan karena melanggar Pasal 178E. Setiap pihak bisa dipidana karena memberi keterangan tidak benar, mengubah, merusak, menghilangkan hasil pemungutan dan/atau hasil penghitungan suara.
Penyelenggara pun tak luput dari potensi tindak pidana pemilihan karena tidak menjaga keutuhan kotak suara yang tersegel terkait Pasal 193. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) bertugas menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel.
Namun, kata Ratna, dalam praktik penanganan tindak pidana pemilihan di lapangan, Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) mengalami sejumlah hambatan dan tantangan. Pertama, norma perundang-undangan yang masih multitafsir.
Kedua, batasan waktu dalam penanganan pelanggaran yang sangat singkat yakni 3 + 2 hari kerja. Ketiga, pengawas pemilu yang tidak memiliki kewenangan memaksa untuk meminta keterangan seseorang baik itu terlapor, pelapor, maupun saksi.
Keempat, terlapor bersembunyi atau melarikan diri. Kelima, adanya dugaan intervensi politik.
Ratna mengatakan, Sentra Gakkumdu perlu menyiapkan langkah untuk menghadapi hambatan dan tantangan dalam menangani tindak pidana pemilihan. Caranya dengan meningkatkan koordinasi dan diskusi, menerapkan piket kehadiran, memaksimalkan pengumpulan alat bukti, membuka ruang untuk dilakukannya penahanan, serta penuntutan tanpa kehadiran terdakwa (in absentia).
"Hal ini dimungkinkan dengan berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum," kata Ratna.