REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko mengatakan, penggunaan vaksin termasuk vaksin Covid-19 jika sudah ada tetap dipantau setelah diberikan ke masyarakat. Hal itu dilakukan untuk menjamin keamanan vaksin tersebut.
"Kalaupun sudah ada vaksin diimplementasikan, harus dipantau untuk jangka lima hingga 10 tahun untuk melihat keamanannya," kata Handoko saat dihubungi Antara di Jakarta, Jumat.
Handoko menuturkan kegiatan pemantauan itu disebut surveilans pascapemasaran (post marketing surveillance) sebagai praktik pemantauan keamanan vaksin. Ia mengungkapkan, banyak sekali vaksin yang akhirnya dicabut pada periode tersebut karena baru ketahuan bermasalah.
"Jadi kita semua harus terus bekerja dan mencoba berbagai formula," tuturnya.
Handoko memberikan contoh vaksin malaria yang sempat diimplementasikan di Filipina beberapa tahun lalu. Vaksin itu akhirnya dicabut karena ditemukan ada masalah pada aspek keamanan, yakni efek sampingan yang cukup signifikan.
Handoko mengatakan, surveilans pascapemasaran adalah kewajiban pengembang vaksin dan industri farmasi yang memproduksi. Tetapi, semua data harus dilaporkan secara berkala ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk dipantau.
Oleh karena itu, menurut Handoko, perjalanan vaksin bukan hanya pada saat riset dan pengembangan hingga melewati uji klinis. Vaksin dipastikan manjur, aman, dan berkualitas lalu setelah mendapatkan izin edar dari BPOM dan digunakan masyarakat, tetap ada pemantauan untuk menjaga keamanan vaksin.
Handoko menuturkan, hingga saat ini belum ada satupun vaksin Covid-19 di dunia yang dinyatakan berhasil dan mendapat otorisasi penggunaan darurat (emergency use authorization) di Indonesia. Oleh karena itu, pengembangan vaksin Merah Putih secara mandiri juga penting untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan investasi ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang riset, pengembangan, dan produksi vaksin.
Saat ini, ada enam institusi di Indonesia yang mengembangkan vaksin Merah Putih untuk mencegah Covid-19, yakni LIPI, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Universitas Airlangga (Unair), Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Masing-masing meneliti dengan platform yang berbeda.
Handoko menuturkan, pengembangan dengan berbagai platform tersebut penting karena semua belum tahu mana yang akan berhasil, baik dari sisi efikasi (manjur mendorong munculnya antibodi) dan aman (efek samping minimal).
"Karena sampai saat ini belum ada satupun yang dinyatakan berhasil dan mendapat EUA (emergency use authorization). Pokoknya mana yang siap dulu saja," ujarnya.