REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Sebelum menikah dalam Islam hendaknya para lelaki memberikan mahar atau maskawin kepada calon istri. Mahar atau maskawin adalah sebutan bagi harta yang diberikan kepada perempuan karena terjadinya akad perkawinan.
Selain kata mahar, dalam fiqh Islam terdapat sejumlah istilah lain yang memiliki konotasi sama antara lain, shadaq, nihlah, dan thawl. Mahar ditetapkan sebagai kewajiban suami kepada istrinya sebagai tanda keseriusannya untuk menikahi dan mencintai perempuan, sebagai penghormatan terhadap kemanusiaannya, dan sebagai lambang ketulusan hati untuk mempergaulinya secara ma’ruf.
Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 4 :
وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ
Wa ātun-nisā`a ṣaduqātihinna niḥlah.”…Berikanlah maskawin kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan..”
Dijelaskan dalam buku Fiqh Perempuan oleh K.H. Husein Muhammad, maskawin menurut Alquran bukan sebagai “harga” dari seorang perempuan. Oleh karena itu, tidak ada ukuran atau jumlah yang pasti. Maskawin dapat menjadi besar atau kecil. Beberapa hadits dikatakan, sebaiknya jumlah maskawin tidak terlalu besar. Rasulullah bersabda, “Keberkatan paling agung dari suatu pernikahan adalah maskawin yang mudah atau ringan untuk diberikan,” (HR Ahmad).
Sebaliknya, pemberian maskawin secara berlebihan adalah terlarang. Hal ini dimaksudkan supaya tidak menimbulkan kesulitan bagi lelaki untuk melangsungkan perkawinannya. Sebab, mempersulit perkawinan dapat menghasilkan implikasi yang buruk, bahkan merusak secara personal maupun sosial. Umar bin Khatab r.a. pernah menyampaikan, ketika seorang lelaki diharuskan memberi maskawin yang mahal kepada calon istrinya, boleh jadi dia akan menyimpan kebencian kepada perempuan itu.
Sementara para ahli fiqh memang ada yang menetapkan jumlah minimal untuk maskawin. Misal, Mahzab Hanafi menetapkan jumlah tidak kurang dari 10 dirham. Mahzab Maliki menetapkan seperempat dinar. Mahzab Syafi’I menetapkan ukuran maskawin tidak ditentukan berdasarkan nominal tertentu. Menurut Mahzab Syafi’I, yang terpenting adalah apa saja yang ada harganya atau sesuatu yang berharga.
Semua pendapat ahli fiqh tersebut sebenarnya hanya memberikan ketentuan maskawin sebaik-baiknya menurut tradisinya masing-masing. Bentuk maskawin pun bisa bermacam-macam, bisa cincin emas atau perak, uang kertas, dan sejenisnya. Bahkan, dalam Mahzab Hanafi, maskawin bisa berupa hewan ternak, tanah, serta barang-barang perdagangan seperti pakaian.