REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah secara resmi melarang Front Pembela Islam (FPI) yang sudah berdiri selama 20 tahun. Dalam sebuah konferensi pers tanpa tanya jawab yang digelar di Jakarta, Rabu (30/12), Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan pembubaran FPI dilakukan karena sudah tidak memiliki legal standing sebagai ormas maupun organisasi biasa.
Kiprah FPI memang kerap mengundang kontroversi. Aksi sweeping dengan kekerasan di tempat-tempat hiburan malam dan kelompok agama minoritas mengundang keprihatinan. Meski demikian, aksi para relawan FPI dalam bencana juga mengundang acungan jempol. Mereka terjun langsung mengangkat jenazah ribuan korban tsunami Aceh dan kerap tanggap saat bencana datang melanda.
Bagaimana sebenarnya sejarah FPI didirikan? Saeful Anwar dalam Pemikiran dan 'Gerakan Amr Ma’ruf Nahy Munkar Front Pembela Islam (FPI) di Indonesia 1989-2012' menjelaskan, FPI dideklarasikan sejumlah tokoh agama yang aktif sebagai mubaligh di atas mimbar-mimbar dakwah. Nama-nama seperti Habib Rizieq Shihab, Habib Idrus Jamalullail, Kiai Misbachul Anam berkumpul di Pondok Pesantren al-Umm di daerah Kampung Utan-Ciputat, Tangerang Selatan (kediaman Kiai Misbach), pada Senin, 17 Agustus 1998. Mereka sepakat untuk mendeklarasikan pendirian FPI.
Deklarasi ini terjadi tiga bulan usai Orde Baru tumbang dengan mundurnya Presiden Soeharto. Meski demikian, sebagai wadah kerja sama ulama, umat dalam menegakkan amr ma‘rûf nahy munkar, para aktivis gerakan ini telah melakukan berbagai aktivitas keagamaan,seperti tablig akbar, audiensi, silaturrahmi dengan tokoh masyarakat.
Mengutip Thoha Hamim, Saeful menjelaskan, munculnya Gerakan Radikal Islam di Indonesia, terutama FPI, dipengaruhi oleh adanya gerakan-gerakan militan yang terjadi di Timur Tengah dan negara-negara lain. Antara lain: Jabhat al-Tah}rîr al-Falistînî di Palestina, Palestini Libration Front (PLF) di Palestina, Moro National Libratiaon Front (MNLF) di Philipina, Pasukan Ababil, dan Laskar Jundullah di Jakarta, yang mana organisasi tersebut bergerak secara militan akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah penguasa.
Saeful menulis, saat proses reformasi terjadi pada 1998, hampir tidak ada kekuatan sosial dominan yang bisa mengendalikan gerakan masyarakat. Bahkan aparat negara juga tidak memiliki peran yang efektif dalam menjalankan fungsinya sebagai penjaga ketertiban sosial masyarakat.Yang terjadi adalah munculnya anarki sosial, yang ditandai dengan maraknya kerusuhan di berbagai lapisan masyarakat. Setiap elemenmasyarakat pada saat itu memiliki kesempatan untuk melakukankonsolidasi, membentuk kelompok-kelompok sosial gunamengekspresikan kepentingan masing-masing.
Ketika proses reformasi terjadi, tulis Saeful, umat Islam menggalang kekuatan untuk mengambil peran politik yang lebih strategis. Bagi kelompok Islam jenis ini, reformasi merupakan peluang untuk merebut kembali hak-hak mereka yang dirampas oleh negara. Dengan hilangnya kekuatan negara dan aparaturnya, umat Islam memiliki kesempatan untuk menawarkan nilai-nilai Islam sebagai alternatif untuk menjawab problem bangsa tanpa harus khawatir dicurigai dan dituding sebagai kelompok ekstrem kanan (kelompok fundamentalis) yang baru diberangus. Mereka bahkan merasa bangga dengan sebutan-sebutan tersebut.
Bangkitnya kekuatan Islam fundamentalis juga didorong oleh keinginan untuk menjaga dan mempertahankan martabat Islam dan sekaligus umat Islam. Hilangnya peran negara dan aparat pemerintahan, banyak umat Islam yang menjadi korban dari berbagai konflik sosial. Tindakan maksiat terjadi di mana-mana tanpa ada kontrol dari pemerintah. Menurut Saeful, di sini umat Islam kembali menjadi korban.
Situasi sosial-politik yang melatarbelakangi berdirinya FPI dirumuskan oleh para aktivis gerakan ini sebagai berikut. Pertama, adanya penderitaan panjang yang dialami umat Islam Indonesia sebagai akibat adanya penyelenggaraan HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa. Kedua, adanya kewajiban bagi setiap Muslim untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta umat Islam. Ketiga, adanya kewajiban bagi setiap Muslim untuk dapat menegakkan amr ma‘rûf nahy munkar.
Disebut front karena orientasi kegiatan yang dikembangkan lebih pada tindakan konkret berupa aksi frontal yang nyata dan terang dalam menegakkan amr ma‘rûf nahy munkar, sehingga diharapkan agar senantiasa berada di garis terdepan untuk melawan dan memerangi kebatilan, baik dalam keaadaan senang maupun susah. Dengan demikian diharapkan pula bisa menjadi pendorong untuk selalu berlomba-lomba mencari rida Allah, agar selalu ada di depan dan tidak pernah ketinggalan dalam perjuangan.
Kelompok ini disebut pembela dengan harapan agar bersifat pro-aktif dalam melakukan pembelaan terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Diharapkan pula bisa menjadi pendorong untuk tidak berfikir tentang apa yang bisa didapat, namun sebaliknya agar berfikir tentang apa yang bisa diberi. Dengan kata lain FPI harus siap melayani bukan dilayani. Sikap seperti inilah yang diharapkan bisa menjadi penyubur keberanian dan pembangkit semangat berkorban dalam perjuangan FPI.
Adapun kata Islam menunjukan bahwa perjuangan FPI harus berjalan di atas ajaran Islam yang benar lagi mulia. Sangat jelas bahwa pemberian nama Front Pembela Islam adalah sebagai identitas perjuangan, yang dengan membaca atau mendengar namanya saja, maka secara spontan terlintas di benak mereka yang tidak kusut pemikirannya, bahwa organisasi ini siap berada di barisan terdepan untuk menegakkan syariat Islam.
"Dengan mencermati faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya FPI, maka tampak jelas bahwa kelahiran FPI tidak bisa lepas dari peristiwa reformasi sebagai momentum perubahan sosial politik di Indonesia. Dengan demikian keberadaan FPI merupakan bagian dari proses pergulatan sosial politik yang terjadi di era reformasi."ujar Saeful.