REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Al-Khaliq berasal dari akar kata “khalaqa” atau “khalq”, yang berarti mengukur, membentuk atau memperhalus. Makna ini kemudian berkembang menjadi “menciptakan sesuatu yang baru”, “menciptakan dari ketiadaan”, “menciptakan tanpa satu contoh terlebih dahulu” atau “menciptakan sesuatu yang baru dari sesuatu yang telah ada.”
Dalam Al-Qur’an, kata “Khaliq” dengan berbagai bentuknya disebut secara berulang hingga 150 kali. Namun, kata “Khaliq” sendiri disebutkan sebanyak delapan kali.
Tujuh di antaranya menunjukkan makna sebagai nama Allah. Dalam Surat Ar-Ra’d: 16 dan Al-Mukminun:14, misalnya, Allah menyebut dirinya sebagai Ahsanul Khaliqin, Sebaik-baik Pencipta.
Menurut Al-Ashfahaniy dalam Mufradat Alfadz Al-Qur’an, “Al-Khaliq” berarti Dzat yang menciptakan sesuatu tanpa bahan atau contoh yang sudah ada (QS. Al-A’raf:189). Selain itu, juga bermakna “menciptakan sesuatu dari yang lain” (QS. An-Nisa:1).
Di beberapa surat, Al-Qur’an juga menegaskan Allah-lah yang menciptakan alam semesta ini. Langit dan bumi diciptakan dalam waktu tertentu, yaitu “enam hari’ (QS. Al-A’raf:54), dengan prinsip kebenaran dan penciptaan itu bukanlah pekerjaan main-main atau sia-sia (QS. Ad-Dukhan:38-39). Karenanya, atas semua kejadian penciptaan itu, manusia diperintahkan untuk dapat memikirkannya (QS. Al-Baqarah:164).
Melalui pemikiran terhadap penciptaan alam semesta itu, manusia diharapkan memperoleh kesadaran ketuhanan dan “menemukan” Tuhan sebagaimana Nabi Ibrahim AS. Selain itu, pemikiran ini akan mengantarkan pada kesadaran pengetahuan untuk menyusun konsep-konsep dan berusaha mewujudkannya dalam realitas kehidupan manusia.
Dalam konteks inilah Islam mendorong umatnya untuk memikirkan ciptaan-Nya (fil-khalq) dan dilarang memikirkan tentang Dzat Yang Maha Pencipta. Allah menciptakan alam semesta ini dari ketiadaan tanpa ada contoh sebelumnya.