REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pejabat China dan pengguna media sosial mengejek insiden kerusuhan di Gedung Kongres Capitol Hill, Washington DC, Amerika Serikat (AS), Rabu (6/1) waktu setempat. Kekacauan di aula Kongres menjadi alat propaganda bagi pemerintahan Presiden Cina Xi Jinping.
Pada Kamis (7/1), juru bicara kementerian luar negeri Cina, Hua Chunying menyamakan kerusuhan AS dengan protes pro-demokrasi Hong Kong pada 2019. Seperti diketahui, pada Juli tahun lalu, pengunjuk rasa masuk dan merusak Dewan Legislatif Hong Kong, parlemen de facto wilayah itu.
"Ketika hal serupa terjadi di Hong Kong, beberapa media Amerika dan AS bereaksi berbeda," kata Hua Chunying dikutip laman Financial Times, Kamis (7/1).
Sebagian besar media pemerintah China juga menyampaikan berita singkat tentang perkembangan di Washington. Namun media-media tersebut menerbitkan foto dan video yang dramatis.
Platform media sosial China juga dibanjiri dengan komentar sinis yang membandingkan kerusuhan di Washington dengan Musim Semi Arab dan protes "revolusi warna" hingga protes pro-demokrasi yang sering disertai kekerasan di Hong Kong. Akun media sosial Liga Pemuda Partai Komunis China mengunggah gambar pendukung Trump di sekitar Capitol.
Akun tersebut menyebutnya sebagai "karya agung global". Hal itu merujuk pada referensi nyata komentar Ketua House of Representative Nancy Pelosi tahun lalu bahwa nyala lilin pro-demokrasi besar-besaran di Hong Kong adalah pemandangan yang indah.
Reaksi di Cina sangat kontras dengan sekutu AS di kawasan Asia-Pasifik. "Apa yang terjadi salah," kata Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern.
Menurutnya, hak orang untuk melakukan pemungutan suara. Keputusan pemungutan suara itu mesti ditegakkan secara damai tidak boleh dibatalkan oleh massa. "Saya yakin demokrasi akan menang," ujar Ardern.
Dalam peringatan yang biasanya disediakan untuk negara-negara yang dilanda perselisihan dalam negeri, Canberra memperbarui saran perjalanan untuk warga negara Australia di AS.