REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, kembali berhadapan dengan kemungkinan pemakzulan. Didorong oleh Partai Demokrat dari House of Representative, pasal pemakzulan Trump akan diajukan pada Senin (11/1).
Agar Trump dimakzulkan, pasal tersebut harus lolos dengan suara mayoritas di DPR sebelum dapat dikirim ke Senat untuk disahkan. Tindakan itu kemudian membutuhkan dukungan dua pertiga di Senat agar presiden dihukum dan dicopot dari jabatannya.
"Fakta bahwa itu bisa menjadi konsekuensinya bisa menjadi pukulan telak bagi Trump," ujar mantan penasihat khusus House selama empat penyelidikan pemakzulan terhadap hakim federal, Alan Baron.
Dorongan pemakzulan Trump menyusul serbuan massa pendukungnya ke Gedung Capitol. Dia diduga ikut memanasi terjadinya kerusuhan tersebut.
Pada Ahad (10/1), Pasal Pemakzulan terhadap Trump telah memiliki 200 pendukung di 435 kursi dengan Demokrat memegang mayoritas tipis. Sedangkan suara Senat akan menentukan. Demokrat hanya unggul tipis dari Partai Republik di Senat.
Barin menyatakan, dengan partai yang juga akan segera mengambil kendali mayoritas Senat, pemakzulan bisa menjadi langkah praktis bertujuan mencegah Trump mencalonkan diri sebagai presiden lagi pada 2024. Upaya ini pun bisa menjadi teguran simbolis atas tindakannya.
Tapi, rencana ini bisa saja gagal mempertimbangkan persidangan Senat tidak mungkin terjadi sebelum Trump meninggalkan jabatannya pada 20 Januari. Bahkan jika Pemimpin Mayoritas Senat dari Republik, Mitch McConnell, bekerja sama dengan melakukan lebih cepat, ini akan sangat sulit. Para pengamat mengatakan secara logistik tidak mungkin untuk melakukan persidangan berisiko tinggi dalam jangka waktu singkat.
Sementara itu, Perwakilan Demokrat, James Clyburn, menyarankan bahwa House mungkin menunggu untuk mengirim Pasal Pemakzulan ke Senat hingga 100 hari masa jabatan presiden Biden.