Rabu 13 Jan 2021 06:22 WIB

Inilah Kebijakan Energi Alternatif di Sektor Transportasi

Kementerian ESDM sedang menyusun grand strategi nasional penggunaan energi bersih

Rep: intan pratiwi/ Red: Hiru Muhammad
Energi Alternatif (ilustrasi)
Energi Alternatif (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kebutuhan akan transportasi dalam pemenuhan kebutuhan perpindahan orang dan barang sebagai aktifitas ekonomi menimbulkan tingginya tingkat ketergantungan impor minyak dan bahan bakar. Hal ini sekaligus memberikan dampak lingkungan kenaikan emisi gas rumah kaca hingga mencapai 189 juta ton -co2EQ (29,3  persen dari emisi GRK di sektor energi). Di era transisi energi global saat ini, Pemerintah memandang semakin pentingnya upaya substitusi BBM (Bahan Bakar Minyak) dengan alternatif bahan bakar lainnya, efisiensi kendaraan, jenis mesin dan bahan bakar, kapasitas serta ketersediaan layanan.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana menyampaikan Kementerian ESDM saat ini tengah menyusun grand strategi nasional sebagai upaya komprehensif untuk melakukan transformasi dan transisi penggunaan energi ke arah energi bersih, yang secara makro untuk menggeser penggunaan BBM.

“Kementerian ESDM telah menyusun grand strategi nasional untuk melakukan transformasi demi meningkatkan ketahanan energi di dalam negeri dan meningkatkan kemandirian energi sekaligus juga memperbaiki aspek lingkungannya. Jadi, ini upaya yang secara makro kami susun untuk menggeser penggunaan BBM. Pertama karena BBM nya diimpor, yang kedua karena BBM diproduksi secara terbatas,” tutur Dadan, Selasa (12/1).

Menurut Dadan, ada beberapa hal mendasar yang dilakukan transformasi di Kementerian ESDM dan akan dilakukan peninjauan kembali terhadap rencana umum energi nasional (RUEN). “Sudah ada upaya alternatif bahan bakar tapi kan komposisinya masih tetap bahwa yang basisnya fosil masih sangat tinggi khususnya untuk bensin. Arahnya kami ingin menurunkan BBM jenis bensin. Targetnya sebelum 2030 kita tidak ada lagi impor bensin,” tukasnya.

Data Kementerian ESDM menyebutkan pada tahun 2019 angka impor bensin mencapai 19 juta kL dan impor solar mencapai 4 juta kL. Impor bensin semakin meningkat dalam lima tahun terakhir karena konsumsi bensin juga terus meningkat. Konsumsi bensin pada tahun 2019 mencapai 35 juta kL, sementara impor solar pada tahun yang sama mencapai 29 juta kL.

“Dari strategi ini ditargetkan dalam 4 tahun kedepan dapat mengurangi impor bensin tanpa melakukan penambahan kilang untuk eksisting. Sedangkan untuk listrik dan biofuel nantinya diharapkan dapat menggantikan bahan bakar batubara, namun harus didukung dari sisi infrastuktur,” ujar Dadan.

Lebih lanjut Dadan mengungkapkan salah satu strategi energi nasional untuk menggeser BBM adalah pelaksanaan program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KLBB). Pada pelaksanaan program ini, Kementerian ESDM akan mendukung fasilitasi dari sektor penyediaan listriknya.  Selain itu, pemerintah akan mengoptimalkan produksi BBN baik berupa Biodiesel ataupun Biohidrokarbon dan berupaya mempertahankan implementasi program B30.

“Biofuel akan ditahan di konsumsi B30 sekarang, kemudian dilakukan optimalisasi produksi untuk yang lain, kami akan memastikan B30 ini berjalan dengan baik. Sudah ada beberapa industri yang akan memproduksi methanol yang berbasis batubara, karena memang UU sekarang harus seperti itu, untuk  perpanjangan izin harus ada rencana hilirisasi didalam, dan hilirisasi yang paling dekat adalah mengkonversi batubara menjadi methanol, jadi ini yang kami coba siapkan khusus untuk yang berbasis biofuel,” terangnya.

Sementara itu terkait pengembangan Bio-CNG, beberapa inisiatif skala kecil tapi punya potensi yang besar telah dilakukan.  Dadan berharap BPPT dapat memberikan dukungannya agar perkembangan bio-CNG sampai ke pasar. Kementerian ESDM bersama dengan beberapa pihak mendorong program ini agar secara bertahap dapat diproduksi secara lokal.

Pada kesempatan ini Dadan juga menyebutkan bahwa Pemerintah tengah mengembangkan bahan bakar A2 yang rendah emisi, campuran bensin dengan 15 persen methanol dan 5 persen ethanol. A20 merupakan program bersama dengan BPPT yang disupport oleh Pertamina, yang menjadi salah satu peluang untuk menggeser pemanfaatan BBM jenis bensin. Penggunaan bahan bakar A20 secara komersial belum dilakukan, akan tetapi telah dilakukan road test di beberapa Negara. “Kami mengharapkan kerja sama dari berbagai pihak diantaranya pemerintah, universitas, sektor khusus, komunitas dan NGO guna mencapai Energy Independece dan Energy Security sebagai bentuk Sustainable Development,” katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement