REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda mengatakan karya-karya sastra yang muncul di ruang digital makin anarkis. “Anarkisme estetika makin kuat. Makin banyak puisi yang tidak estetik. Bahkan, ada novel yang cenderung porno,” kata Ahmadun dalam diskusi “Sastra Setelah Media Cetak Tiada” yang diadakan oleh Imaji Indonesia dan Majalah Sastra Imajisia, Sabtu (9/1) melalui aplikasi Google Meeting.
Menurut Ahmadun, banyak sekali problem karya di ruang digital. Bukan hanya masalah cerita yang berantakan, kemampuan teknis berbahasa mereka masih sangat lemah dengan kalimat dan ejaan yang buruk. “Seharusnya mereka membekali diri dengan kemampuan berbahasa yang baik. Sebab itu dasar keterampilan memulis,” kata dosen Creative Writing di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Tangerang ini. “Langkah selanjutnya adalah menghadirkan cerita yang bermutu,” ujar Ahmadun seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Ahmadun mengaku sejak lama mengamati sastra di ruang maya. Pada era-era awal ramainya internet, menurutnya, karya sastra yang muncul di ruang maya sudah banyak kelemahan. Internet menjadi tempat bagi penulis untuk menyiarkan karya-karya yang ditolak di koran umum. “Namun kala itu tidak seanarkis sekarang. Bahkan, dulu beberapa karya penyair bagus munculnya dimulai dari sastra cyber,” tutur mantan redaktur sastra Republika itu.
Iwan Kurniawan, pemimpin redaksi Cybersastra.net pada era itu, mengatakan bahwa karya yang muncul di ruang maya memang problematik. Sebab, ruang maya adalah ruang yang bebas, siapa pun bisa masuk dan melakukan apa pun. Sebab, tidak ada seleksi dan kurasi. “Itu memang karakter ruang di internet. Barangkali di sinilah media seperti Imajisia bisa masuk untuk menghadirkan karya bermutu,” ujar editor opini Koran Tempo ini.
Pembicara lain dalam diskusi itu, Mahwi Air Tawar, lebih memaparkan bagaimana ruang digital begitu penting diisi oleh para penulis. “Kita tidak bisa berpaling dari ruang digital sebagai tempat mempublikasikan karya kita,” kata dia.
Menurutnya, penulis harus menyesuaikan diri pula dengan karakter medium di dunia digital itu. Dunia digital bisa dieksplorasi sebagai ruang kreatif maupun sebagai gagasan menjadi karya kreatif. “Kita bisa mengekplorenya menjadi bagian dari karya kita,” tuturnya.
Diskusi itu adalah bagian dari rangkaian peluncuran Majalah Sastra Imajisia versi digital (pdf). Awalnya, Imajisia adalah majalah sastra berbasis Instagram @imajisia. Media ini diterbitkan oleh Imaji Indonesia dengan kurator Mustata Ismail, Iwan Kurniawan, Willy Ana, dan Mahwi Air Tawar. Imajisia ini memuat puisi, cerpen, esai, berita sastra, resensi buku, hingga profil sastrawan. Kini, para pengelola menerbitkan majalah Imajisia versi digital (pdf).
Penerbitan majalah versi digital itu dimaksudkan untuk melayani para pembaca yang jarang membuka Instagram dan yang tidak familiar dengan media sosial itu. “Namun, Imajisia tidak hanya menyajikan karya yang sudah diterbitkan di Instagram, tapi juga ada karya baru yang di Instagram hanya dimuat cuplikannya,” kata Ketua Imaji Indonesia, Willy Ana. “Sehingga Imajisia versi digital mempunyai nilai lebih.”
Mustafa Ismail, salah satu kurator Imajisia yang menjadi moderator dalam diskusi itu, menambahkan bahwa Imajisia akan mengambil peran sebagaimana halnya media cetak selama ini dengan menerapkan seleksi karya yang ketat. “Ketika media cetak mulai tumbang satu persatu, kita perlu melakukan sesuatu dengan memilih dan memilah lalu menghadirkan karya bermutu kepada pembaca di ruang digital,” tutur penyair asal Aceh itu.
Selain itu, Imajisia kini juga membuka ruang bagi para penulis muda di rubrik “Ruang Muda” berisi puisi, cerpen, dan esai. “Banyak penulis muda mengirim karya namun sedikit sekali yang memenuhi standar kurasi kami. Sehingga kami berpikir untuk memberi ruang khusus kepada mereka di Imajisia dengan kurasi yang lebih longgar,” kata Mustafa
Willy Ana menambahkan bahwa karya-karya untuk Imajisia bisa dikirim ke email: [email protected]. Namun pengelola hingga saat ini belum bisa memberi honor untuk karya yang dimuat karena belum mempunyai sponsor. “Ini kerja gotong royong. Kami berharap ke depan ada donatur dan sponsor yang terketuk hatinya membantu Imajisia sehingga kami bisa berbagi kebahagiaan dengan para penulis,” ujar penyair asal Bengkulu ini.