Kamis 04 Feb 2021 05:10 WIB

NU dan Masyumi: Berpisah Tetapi Tetap Kompak

NU dan Masyumi, Berpisah Tetapi Tetap Kompak

Menteri Keuangan Mr. Jusuf Wibisono yang menasionalisasi De Javasche Bank dan melobby NU untuk mendukung Sjafruddin Prawiranegara jadi Gubernu BI periode kedua.
Foto: Lukman Hakiem
Menteri Keuangan Mr. Jusuf Wibisono yang menasionalisasi De Javasche Bank dan melobby NU untuk mendukung Sjafruddin Prawiranegara jadi Gubernu BI periode kedua.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Lukman Hakiem, Peminat Sejarah, mantan Staf M Natsir dan Wapers Hamzah Has.

TANGGAL 31Januari 2021, Nahdlatul Ulama (NU) genap 95 tahun. Peringatan ulang tahun organisasi dirayakan sampai ke Istana.  Presiden Joko Widodo secara khusus menyampaikan ucapan selamat ulang tahun kepada seluruh kaum Nahdliyyin.

Yang terasa istimewa, Presiden ke-5, Megawati Sukarnoputri turun gunung untuk menyelamati HUT ke-95 NU. Megawati antara lain mengenang persahabatan ayahandanya,  Presiden Sukarno, dengan para pemimpin NU di masa lalu sembari berjanji akan melanjutkan persahabatan itu sekarang dan di masa depan.

Persahabatan Sukarno dengan para Pemimpin Islam

BUNG KARNO memang akrab dengan para pemimpin Islam. Ketika bersekolah di Surabaya, dia in de kost di rumah pemimpin Sarekat Islam, Yang Utama H.O.S. Tjokroaminoto.

Dalam suatu pidato di depan peserta Muktamar Muhammadiyah pada awal 1960-an, Bung Karno mengaku telah ikut mengaji kepada pendiri Muhammadiyah, K.H.A. Dahlan, sejak usia 15 tahun. Sejak itu dia "ngintil" Kiai Dahlan.

Yang paling fenomenal tentulah persahabatannya dengan guru utama Persatuan Islam (Persis), Tuan Ustadz A. Hassan.

Ketika Sukarno dibuang ke Endeh, adalah Tuan Hassan yang melayani dahaga spiritualnya. Korespondensi Sukarno ke Ustadz Hassan menjadi bagian tersendiri di dalam kumpulan tulisan Bung Karno, Dibawah Bendera Revolusi Djilid I, "Surat-surat Islam dari Endeh".

Demikian sangat akrabnya hubungan Sukarno dengan A. Hassan sehingga Bung Karno tidak sungkan curhat kepada Tuan Hassan. Dalam surat kepada Tuan Hassan tertanggal 12 Juni 1936, Sukarno mengeluhkan kesulitan keuangan yang dihadapinya di tempat pembuangan karena "saya punya onderstand dikurangi, padahal tadinya pun sudah sesak sekali buat membelanjai segala saya punya keperluan."

Lebih lanjut Sukarno bercerita bahwa dirinya saat itu sedang menerjemahkan sebuah buku berbahasa Inggeris "yang mentarichkan Ibnu Saud." Bung Karno menyebut biografi Ibnu Saud itu "bukan main hebatnya."

Kepada Ustadz Hassan, Bung Karno bercerita bahwa "biografi itu menggambarkan kebesaran Ibnu Saud dan Wahabisme begitu rupa, mengkobar-kobarkan elemen amal, perbuatan sedemikian rupa, hingga banyak kaum 'tafakur' dan kaum pengeramat Husain cs akan kehilangan akal nanti sama sekali."

Di akhir suratnya, Sukarno meminta tolong kepada Tuan Hassan untuk mencarikan orang yang mau membeli copy buku terjemahannya itu atau "barangkali Saudara sendiri ada uang buat membelinya. Tolonglah melonggarkan saya punya rumah tangga yang disempitkan korting itu."

Saya percaya, Megawati tentu telah khatam membaca Dibawah Bendera Revolusi Djilid I, dan menunggu pidatonya mengenang persahabatan Bung Karno dengan Ustadz A. Hassan yang luar biasa akrab itu.

Dalam suasana Satu Abad Persatuan Islam, kenangan Megawati terhadap persahabatan ayahandanya dengan Ustsdz A. Hassan, tentu memiliki nilai tersendiri.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement