REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia (HAM) di Myanmar, Tom Andrews, mengkhawatirkan terjadinya eskalasi kekerasan di negara tersebut. Hal itu disampaikan saat gelombang demonstrasi menuntut pembebasan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi terus berlanjut.
Andrews mengungkapkan, telah menerima laporan pergerakan pasukan di seluruh Myanmar. Dia khawatir warga yang berpartisipasi dalam unjuk rasa menentang kudeta menghadapi bahaya nyata.
"Saya khawatir Rabu (17/2) memiliki potensi kekerasan dalam skala yang lebih besar di Myanmar daripada yang kita saksikan sejak pengambilalihan pemerintah secara ilegal pada 1 Februari," kata Andrews dalam sebuah pernyataan, dikutip laman Aljazirah.
Kekhawatiran Andrews muncul karena dua hal yakni protes massal yang direncanakan dan adanya pergerakan atau pengerahan pasukan. "Kita bisa berada di tebing di mana militer melakukan kejahatan yang lebih besar terhadap rakyat Myanmar," ujarnya.
Kekhawatiran serupa turut disampaikan International Crisis Group (ICG). Mereka menyebut pendekatan pasukan keamanan bisa berubah menjadi lebih "gelap" dengan cepat. "Tentara dan kendaraan lapis baja mulai memperkuat garis polisi. Jika para jenderal menjadi tidak sabar dengan status quo, itu dapat dengan mudah menjadi ujung yang tajam dari tindakan keras berdarah, seperti yang telah terjadi di masa lalu," kata ICG dalam sebuah pernyataan pada Rabu (17/2).
Para demonstran memang telah menyerukan aksi unjuk rasa yang lebih besar pada Rabu. Hal itu guna meruntuhkan klaim militer yang menyebut mereka memiliki dukungan luas untuk melakukan kudeta pada 1 Februari lalu.