REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mukti Ali Qusyairi, Ketua LBM PWNU DKI Jakarta dan Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat
Alumni pesantren tradisional Lirboyo Kediri dengan sejuta akal. Itulah kesan saya dari sosok KH Imam Jazuli (disebut Kiai Imam).
Sehari-hari ketika di Pesantren Lirboyo sebagaimana umumnya santri yang lain, Kiai Imam tak lepas dari ngaji ke ngaji, dari kitab kuning ke kitab kuning. Sebentuk prototipe santri klasik yang otentik.
Di Lirboyo pun hidup tradisi berorganisasi, baik organisasi kelas, pesantren, maupun organisasi kedaerahan. Miliu ilmiyah-nya begitu kuat. Terdapat kewajiban musyawarah kitab, bahtsul masail, wajib belajar, wajib memenuhi makna kitab yang dikaji. Keilmuan klasik yang matang dan keorganisasian merupakan modal dasar Kiai Imam untuk melihat dunia lebih luas dan kompleks.
Saya mengenal Kiai Imam ketika masih menjadi santri Lirboyo sedang berlibur panjang pada akhir kelas 2 Aliyah. Kedua sahabat senior saya, Ahmad Syatori dan Farhan Fahmi, mengajak saya bertemu Kiai Imam yang pada saat itu masih angetan baru pulang menyelesaikan studi di Al-Azhar Kairo, Mesir.
Sependek yang saya ingat, Kiai Imam mengatakan bahwa Al-Azhar washilathun wa al-qahirah makanu al-taghyir (Al-Azhar adalah wasilah, dan Kairo adalah tempat berdinamika). Artinya, lanjut Kiai Imam, di Kairo selain ada Al-Azhar juga ada banyak para pemikir dan cendekiawan Muslim yang bertaraf dunia dan para penulis produktif dari pemikir paling kontroversial, moderat, konservatif, maupun radikal. Mesir juga surga bagi para kutu buku, sebab buku-buku sangat melimpah dan murah.
Pada saat itu Syatori bertanya rencana selanjutnya Kiai Imam mau ke mana? Lalu menjelaskan rencananya akan mengambil kursus bahasa Inggris di Pare Kediri, lalu mengambil S-2 di Malaysia.
Ketiga sahabatku ini, Kiai Imam, Farhan Fahmi, dan Ahmad Syathori sempat menerbitkan buletin ilmiah, yang kalau tidak salah bernama Buletin Auflkarung berwarna kuning keemasan. Saya dikasih satu eksemplar.
Saya membaca buletin itu yang isinya hampir semua berisi tulisan Kiai Imam. Membaca tulisan-tulisan Kiai Imam di buletin seperti kesetrum listrik atau tersengat lebah terkaget-kaget luar biasa, lantaran butir-butir pemikiran terdapat dalam tulisan cukup asing, aneh, dan terlalu progresif bagi ukuran saya sebagai santri klutuk tradisional.
Benar saja. Ia kursus bahasa Inggris di Pare bertemu banyak teman saya di Lirboyo yang juga mengambil kursus bahasa Inggris, seperti Kholid Mawardi.
Tahun 2010 saya kembali bertemu Kiai Imam, setelah 12 tahun tak berjumpa. Saya melihat pada diri Kiai Imam terjadi tranformasi dari seorang intelektual yang idealis menuju seorang yang lebih berpikir strategis dan menimbang segala sesuatu dari berbagai aspek. Pada saat itu, ia memiliki banyak perusahaan, di antaranya penerbitan Global Media, jasa pengiriman mahasiswa baru Al-Azhar Mesir, Haji-Umrah, dan lainnya.
Sebagai owner penerbitan, Kiai Imam selalu berpikir lebih cepat dari orang lain. Setelah Kiai Imam mengetahui bukuku “Spirit Islam Sufistik: Tasawuf sebagai Instrumen Pembacaan terhadap Islam” terbit pada awal 2011, Kiai Imam meminta saya untuk menerjemahkan disertasi Prof Dr KH Said Aqil Siroj yang juga tentang sufisme falsafi. Saya menyanggupi.
Kiai Imam menyerahkan naskah dua jilid berwarna hitam berjudul “Shillatu Allah bi al-Kawn fi al-Tasawwuf al-Falsafiy”. Saya berhasil menerjemah jilid pertama. Hasilnya diedit berlapis, yaitu Roland Gunawan, Kiai Imam sendiri, dan KH Dr Aguk Irawan beserta tim sekaligus me-lay out dan cover.
Jilid kedua diterjemahkan KH Dr Aguk Irawan. Tiga bulan selesai. Kiai Imam membuatkan dummy berlogo Global Media yang konon diserahkan ke beberapa pihak, di antaranya dan terutama untuk Kiai Said sebagai penulis.
Waktu berlalu. Saya kenalkan Kiai Imam kepada Salamun Ali Mafadz, yang bekerja di bagian pernaskahan dari novel ke film, sutradara Hanung Bramantyo untuk memfilmkan novel karya KH Dr Aguk Irawan yang akan diterbitkan Global Media miliknya.
Tahun 2015, Mizan menerbitkan karyaku “Islam Mazhab Cinta: Cara Sufi Memandang Dunia”. Pada saat itu Kiai Imam sedang merintis pengembangan pondok pesantren Bina Insan Mulia di kampung halaman, Cisaat, Cirebon. Dunia bisnis ditinggalkan. Fokus mengurus santri.
Pada awal-awal merintis, saya diundang Kiai Imam untuk berkumpul di pesantrennya dengan Didik L Hariri dan Salamun merencanakan penulisan novel Mazhab Cinta, inspirasi dari bukuku “Islam Mazhab Cinta: Cara Sufi Memandang Dunia”.
Ide Kiai Imam selalu di luar dugaan. Novel ditulis Didik L Hariri selesai ditulis. Syair lagu Mazhab Cinta pun selesai dan sedang dibikin aransemennya oleh Salamun dan Aris. Novel dan lagu belum diluncurkan sampai Covid-19 melanda.
Di luar dugaan lagi, Kiai Imam membangun infrastruktur dan suprastruktur pesantren dengan cara yang tidak konvensional. Tidak biasa. Infrastruktur dibangun dengan rumah-rumah limasan dan joglo ukiran kayu jati tua yang usianya seabad lebih. Konon dibeli langsung dari para pemilik rumah-rumah limasan tua yang tersebar di Jawa Tengah, khususnya Yogyakarta dan Solo. Menimbulkan kesan klasik, tradisional, eksotik, kharismatik, dan etnik sekaligus elegan di tengah suasananya yang asri.
Pada saat yang sama, Kiai Imam membangun fasilitas pesantren yang bersifat modern dan relevan untuk kalangan milenial, yaitu: kolam renang, area outbond, lapangan olahraga, bioskop untuk nonton film para santri, studio musik, laboratorium, kafe gaul, gedung kesenian, museum etnik nusantara. Bilik-bilik pesantren yang dari kayu jati dan batah merah yang eksotik itu difasilitasi dengan fasilitas modern TV 60 inch, kulkas dua pintu, AC, ranjang kasur, komputer, full wifi, dan kamar mandi di dalam. Pendaftaran dan pembekalan santri baru diadakan di hotel berbintang di Kota Cirebon.
Sebagai alumni Lirboyo, Kiai Imam juga dengan maksimal menekankan pada aspek pengkajian kitab kuning dan amaliyah ruhaniyah, seperti mengajak santri rutin membaca kitab Dalalil al-Khairat dan kitab Jausyan secara berjamaah dan istiqamah.
Pada saat yang sama, mengajak santri untuk mencintai novel, kesenian, film, dan kebudayaan. Baru-baru ini mengadakan festival fashion atau fashion day pesantren. Para santrinya diajari melek medsos, ngevlog, membikin konten positif di medsos, dan mengakses informasi dan pengetahuan melalui internet.
Pesantren yang dirintis Kiai Imam ini unik dan agak sulit dikategorisasikan ke dalam satu jenis tertentu. Sebab, unsur tradisional, modern, etnik, update dengan perkembangan terkini dan milenial bertemu dan dielaborasi secara proporsional dan ciamik.
Pesantren adalah representasi dari apa yang ada di dalam pikiran sang kiai. Sebentuk manifestasi idealisme pemikiran sang kiai. Seberapa sederhana atau seberapa rumit dan kompleks pesantren itu sebetulnya gambaran dari cita-cita ideal yang dipikirkan sang kiai. Atau kesederhanaan sebuah pesantren pun boleh jadi karena belum ada kesempatan memaksimalkan atas apa yang dicita-citakan atau memang itu yang diinginkan sang kiai.
Agaknya, Kiai Imam memiliki kesempatan untuk mengejawantahkan cita-cita idealnya secara maksimal ke dalam fragmentasi pesantren yang dirintisnya. Sehingga semua arus yang bergolak berdesak-desakan di alam idealnya diwujudkan dalam bentuk puzzle-puzzle yang cukup kaya dan warna-warni; arus doktrin-tradisional, arus spiritual, arus modernis, arus etnik-nasionalis, arus progresif, arus kebudayaan dan kesenian.
Menurut saya, kelebihan Kiai Imam adalah memiliki akal strategis yang melampaui akal idealis. Jika seseorang hanya memiliki akal idealis, boleh jadi ia hanya berhenti pada tataran ide yang menara gading. Sedangkan seseorang yang memiliki akal strategis—seperti Kiai Imam—tidak berhenti pada alam ide, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mewujudkan dalam dunia nyata.
Sekompleks apa pun perwujudan idenya yang terfragmentasi dalam pesantren, menurut saya, sejatinya Kiai Imam sedang mewujudkan kaidah yang terkenal di NU, yaitu al-muhafadzhah ‘ala qadim al-shalih bi al-jadidi al-ashlah (menjaga yang lama yang masih relevan, dan mengambil yang baru yang lebih relevan).
Kelebihan juga keberanian Kiai Imam, setidaknya menurut saya, adalah memasukkan kesusastraan, kesenian, dan kebudayaan ke dalam rutinitas pesantren. Orang lain boleh berbicara dakwah ala Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang melalui kesenian pada acara seminar dan sarasehan. Sedangkan, Kiai Imam selangkah lebih maju mewujudkannya dalam ritme pesantren. Bukankah ini surprise (kejutan) bagi dunia pesantren dan Islam?