Kamis 25 Feb 2021 15:17 WIB

Pelajar Myanmar: Sejak Kudeta, Hidup Kami tak Ada Harapan

Unjuk rasa telah berlangsung setiap hari selama sekitar tiga pekan

Pengunjuk rasa anti-kudeta menggelar protes duduk setelah polisi anti huru hara memblokir pawai mereka di Mandalay, Myanmar, Rabu, 24 Februari 2021. Para pengunjuk rasa yang menentang perebutan kekuasaan militer di Myanmar kembali ke jalan-jalan kota pada hari Rabu, beberapa hari setelah pemogokan umum menutup toko-toko dan membawa banyak orang untuk berdemonstrasi.
Foto: AP Photo/STR
Pengunjuk rasa anti-kudeta menggelar protes duduk setelah polisi anti huru hara memblokir pawai mereka di Mandalay, Myanmar, Rabu, 24 Februari 2021. Para pengunjuk rasa yang menentang perebutan kekuasaan militer di Myanmar kembali ke jalan-jalan kota pada hari Rabu, beberapa hari setelah pemogokan umum menutup toko-toko dan membawa banyak orang untuk berdemonstrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW — Para pelajar Myanmar berjanji untuk melakukan unjuk rasa di pusat komersial Kota Yangon, dengan membawa buku teks yang mempromosikan pendidikan militer sehingga mereka dapat menghancurkannya saat aksi demonstrasi. ”Sejak kudeta, hidup kami menjadi tidak ada harapan, mimpi kami telah mati," kata Kaung Sat Wai (25), seorang pengunjuk rasa di luar kampus universitas di Kota Yangon. "Kami tidak menerima sistem pendidikan yang mendukung kediktatoran,”lanjut dia. 

Banyak profesional dan pekerja pemerintah juga telah bergabung dalam kampanye pembangkangan sipil untuk melawan kudeta, termasuk dokter-dokter yang akan mengadakan protes pada Kamis sebagai bagian dari apa yang disebut revolusi jas putih. 

 

Unjuk rasa telah berlangsung setiap hari selama sekitar tiga minggu, sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu.Tentara merebut kekuasaan dari pemerintah sipil Myanmar setelah menuduh kecurangan dalam pemilu November 2020, yang dimenangi oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi. Militer kemudian menahan Suu Kyi dan sebagian besar pimpinan partai.

Di sisi lain, sekitar seribu pendukung militer juga berkumpul untuk melakukan protes balasan di Yangon tengah. Warga memukuli panci dan wajan untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka dan beberapa bentrokan terjadi di antara kedua belah pihak, kata saksi mata.Juru bicara dewan militer yang berkuasa tidak menanggapi panggilan telepon Reuters yang meminta komentar.

Kelompok HAM Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP) mengatakan hingga Rabu (24/2), sebanyak 728 orang telah ditangkap, didakwa, atau dijatuhi hukuman sehubungan dengan protes pro demokrasi.Pasukan keamanan telah menunjukkan lebih banyak upaya menahan diri dibandingkan dengan tindakan keras sebelumnya terhadap orang-orang yang memajukan demokrasi selama hampir setengah abad pemerintahan militer.

Panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan pihak berwenang mengikuti jalur demokrasi dalam menangani protes. Dia mengklaim, polisi menggunakan kekuatan minimal, seperti peluru karet, berdasarkan laporan media pemerintah.Meskipun demikian, tiga pengunjuk rasa dan satu polisi tewas dalam kekerasan selama demonstrasi.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement