REPUBLIKA.CO.ID,vWASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) terus mengikuti perkembangan situasi di Myanmar. Washington menyebut tewasnya belasan pengunjuk rasa baru-baru ini mewakili eskalasi krisis di negara tersebut.
"Pembunuhan ini merupakan eskalasi tindakan keras yang sedang berlangsung terhadap pengunjuk rasa pro-Demokrasi. Kami sedang mempersiapkan tindakan tambahan untuk membebankan tanggung jawab lebih lanjut kepada mereka yang bertanggung jawab atas pecahnya kekerasan terbaru dan kudeta baru-baru ini," kata Sekretaris Pers Gedung Putih Jen Psaki pada Senin (1/3).
Dia belum dapat menjelaskan langkah lanjutan apa yang bakal diambil AS. Psaki berharap hal itu dapat disampaikan dalam beberapa hari mendatang. Sebelumnya AS telah menjatuhkan sanksi kepada dua jenderal militer Myanmar.
Kantor Pengawasan Aset Luar Negeri Departemen Keuangan AS mengungkapkan sanksi dijatuhkan kepada Kepala Staf Angkatan Udara Myanmar Jenderal Maung Maung Kyaw. Letnan Jenderal Moe Myint Tun selaku mantan kepala staf militer dan komandan salah satu operasi khusus militer yang mengawasi operasi di ibu kota Naypyidaw juga turut dikenai sanksi.
"Militer harus membatalkan tindakannya dan segera memulihkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis di Burma (Myanmar), atau Departemen Keuangan tidak akan ragu untuk mengambil tindakan lebih lanjut," kata Departemen Keuangan AS dalam sebuah pernyataan pada 22 Februari lalu.
Aksi menentang kudeta militer di Myanmar masih berlanjut. Sedikitnya 18 orang telah tewas di tangan pasukan keamanan. Jatuhnya korban sipil telah memantik protes dan kecaman internasional, termasuk dari PBB dan Uni Eropa.
Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi muncul untuk pertama kalinya pada Senin lalu. Dia menghadiri persidangan secara virtual. Sejak ditangkap pasca-kudeta 1 Februari lalu, Suu Kyi telah menerima empat dakwaan. Pertama dia dituduh melanggar hukum karena kepemilikan walkie-talkie impor ilegal.
Suu Kyi juga didakwa melanggar undang-undang penanggulangan bencana alam. Dua dakwaan terbaru yang diterimanya adalah melanggar aturan terkait Covid-19 selama kampanye pemilu November tahun lalu dan memicu "ketakutan dan kecemasan".
Untuk dua dakwaan awal, Suu Kyi dapat terancam hukuman penjara tiga tahun. Belum diketahui ancaman untuk dua dakwaan lainnya. Persidangan Suu Kyi bakal dilanjutkan pada 15 Maret.