Rabu 03 Mar 2021 00:40 WIB

Alasan di Balik tidak Diakuinya Talak Bidah Menurut Islam

Islam tidak mengakui praktik talak bidah yang dijatuhkan suami

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Islam tidak mengakui praktik talak bidah yang dijatuhkan suami. Perceraian/ilustrasi
Foto: familylawyerblog.org
Islam tidak mengakui praktik talak bidah yang dijatuhkan suami. Perceraian/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Talak bidah dinamakan demikian karena talaknya bersifat tidak sesuai dengan tuntunan syariat. Talak dalam Islam tak bisa dilakukan dengan semena-mena, seseorang harus memperhatikan tuntunan syariat yang menyertainya.

Muhammad Bagir dalam buku Muamalah Menurut Alquran, Sunah, dan Para Ulama menjelaskan beberapa hal yang termasuk ke dalam bagian dari talak bidah. 

Baca Juga

Antara lain adalah talak yang dijatuhkan seorang suami terhadap istrinya yang sedang dalam keadaan haid atau nifas, atau masa suci yang di dalamnya telah berlangsung hubungan seksual antara keduanya.

Talak seperti ini bertentangan dengan larangan yang disampaikan Rasulullah SAW kepada Abdullah bin Umar. Termasuk ke dalam talak bidah juga apabila seorang suami menyatakan kepada istrinya itu perkataan: “Engkau kutalak tiga kali” atau kalimat: “Engkau aku talak! Engkau aku talak!”, baik hal itu diucakan dalam satu peristiwa (atau majelis) ataupun dalam tiga peristiwa berturut-turut dalam satu masa suci.   

Para ulama semuanya bersepakat bahwa talak bidah adalah haram hukumnya. Untuk itu, siapa saja yang melakukannya dianggap berdosa. Walaupun demikian, para ulama berbeda pendapat mengenai apakah talak bidah seperti itu sah ataukah tidak (talaknya jatuh atau tidak).

Mayoritas ulama dari keempat mazhab yakni Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali menyatakan bahwa talak seperti itu adalah sah dan berlaku dengan beberapa dalil yang ada. Bahwa, dijelaskan, talak seperti itu walaupun dianggap haram karena tidak mengikuti tuntunan syariat, tetapi ia tetap termasuk dalam pengertian ‘talak’ secara umum.

Pengakuan Abdullah bin Umar ketika menceraikan istrinya dalam keadaan haid lalu Rasulullah SAW memerintahkan agar dia merujuki istrinya itu dengan berarti talaknya dianggap sah dan dihitung satu kali talak. Kata ‘merujuki’ di sini berarti rujuk setelah perceraian, tetapi bisa juga berarti menghubungi kembali istrinya dan meneruskan hubungan perkawinan dengannya. Dengan pengertian bahwa talaknya itu tidak dianggap sah.

Berlainan dengan pendapat di atas, sebagian ulama yang lain yakni Ibnu Taimiyah, Ibnu Hazm, dan Ibnu Qayyim serta beberapa ulama dari Mazhab Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa talak bidah tidak sah adanya (yakni tidak berpengaruh apa-apa). 

Kalangan ulama ini berpendapat bahwa talak bidah tidak masuk dalam pengertian talak secara umum, mengingat dia bukan talak yang Allah SWT izinkan penggunaannya.

Rasulullah SAW bersabda: “Perintahkan kepadanya (Abdullah bin Umar) agar dia menghubungi kembali istrinya.” Jelas bahwa Nabi SAW marah ketika mendengar tentang talak yang dijatuhkan ketika si istri sedang haid. Sedangkan beliau tentunya tidak akan marah terhadap sesuatu yang dihalalkan Allah SWT.

Selain itu, telah disepakati bahwa penamaan perbuatan seperti itu sebagai talak bidah. Sedangkan Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Setiap yang tidak mengikuti cara kami, maka dia tertolak.” 

 Oleh karena itu, menurut para ulama, siapa saja yang mendakwahkan bahwa bid’ah seperti itu berlaku juga dan bahwa pelakunya terikat dengannya, maka dakwahnya itu tidak dapat diterima. Kecuali jika ada dalil yang jelas dan tegas yang dapat menyanggahnya.  

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement