Senin 08 Mar 2021 18:23 WIB

NU dan Kebangkitan Ekonomi Umat

NU fokus mewujudkan kebangkitan dan kemandirian ekonomi bersama umat.

Memperkuat ekonomi berarti memperkuat umat. Foto: Ilustrasi jual beli
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Memperkuat ekonomi berarti memperkuat umat. Foto: Ilustrasi jual beli

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Babay Parid Wazdi, Direktur Kredit UMK & Usaha Syariah Bank BPD DKI Jakarta, Simpatisan & Pengamat Ekonomi  Muhammadiyah dan NU

Dua tahun lagi Nahdlatul Ulama (NU) berusia satu abad menurut ukuran tahun Hijriyah. Pada 16 Rajab 1442 H yang bertepatan dengan 26 Februari 2021 ini NU secara resmi memasuki usia 98 tahun.

Berkat usaha semua pihak, NU pada abad pertama ini berhasil menjadi organisasi keagamaan yang dihargai dan dihormati, bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga di luar negeri. Ada banyak saudara Muslim kita di berbagai negara yang tertarik untuk menduplikasi praktik keberagamaan model NU ini.

Jalan yang telah NU rambah pada abad pertama ini insya Allah akan makin lebar dan luas pada masa depan. Tantangan besar NU pada abad kedua ini adalah bagaimana memperkuat jamaah NU dari aspek ketahanan ekonomi. Dengan memiliki jumlah anggota paling banyak di Indonesia, NU menjadi salah satu kunci penting ekonomi Indonesia ke depan.

Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah sebelum mendirikan NU sudah mendirikan Nahdlatut Tujjar (NT) pada 1918. Lembaga ini berfokus pada pengembangan ekonomi umat, terkhusus dimaksudkan untuk membantu dakwah para kiai dan ustadz.

Menurut penelitian Jarkom Fatwa (2004), di antara maksud pendirian NT adalah karena masyarakat Muslim cenderung tajarrud (sikap mengisolasi) dan enggan mencari nafkah. Padahal, mereka sendiri masih kekurangan.

Kedua, masyarakat cenderung kurang peduli pada urusan sosial ekonomi. Kedua hal ini mesti diatasi oleh kiai dan ustadz. Namun, agar nasihat dan ajaran mereka didengar masyarakat, mereka mesti berkecukupan secara ekonomi.

Dengan ekonomi yang kuat, mereka bisa melakukan dakwah dengan tenang karena tidak perlu diributkan dengan persoalan dapur. Dari sinilah kemudian Nahdlatut Tujjar mendirikan Syirkatul Inan (badan usaha) dalam bidang ekonomi.

Nahdlatut Tujjar lahir sebagai ekspresi para ulama di tiga jalur strategis Jawa Timur saat itu, yaitu Surabaya, Kediri, dan Jombang yang didorong oleh semangat para ulama yang belum banyak terlibat dalam upaya pemberdayaan rakyat. Sementara, kemiskinan dan kemaksiatan sudah memprihatinkan kala itu dan kolonialisme Belanda sudah begitu parah dampaknya terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat, khususnya dalam aktivitas perekonomian dan perdagangan masyarakat. Akar sejarah ini menunjukkan betapa NU sangat memperhatikan aspek ekonomi.

Kemiskinan, ketimpangan, dan kesenjangan serta ketertinggalan masih menjadi tantangan dan persoalan perekonomian umat. Persoalan tersebut dapat menjadi bom waktu apabila tidak ditangani dengan baik.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan penduduk Indonesia pada September 2019 sebesar 9,22 persen atau setara dengan 24,79 juta orang, jumlah tersebut bisa lebih besar apabila melihat dampak pandemi Covid-19. Gini index yang semakin lebar, penguasaan lahan yang semakin timpang, dan berbagai persoalan ekonomi lainnya.

Karena itu, peran dan transformasi NU dalam kebangkitan ekonomi umat sangat perlu ditingkatkan dan diperkuat ke depan. Menjelang usia NU yang ke-100 tahun merupakan momentum terbaik untuk memfokuskan upaya-upaya dalam mewujudkan kebangkitan dan kemandirian ekonomi umat atas pesatnya globalisasi dan liberalisasi perekonomian. Dengan demikian, hal itu berdampak pada perekonomian masyarakat kecil di perdesaan yang merupakan basis warga NU. Dengan ekonomi umat yang kokoh, umat bersama NU dapat berperan sebagai elemen bangsa yang mampu berfungsi dan berkolaborasi dengan pemerintah secara maksimal.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement