REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Persoalan tentang beramal menggunakan hadits dhaif atau lemah kerap kali muncul di tengah-tengah masyarakat. Bolehkah beramal dengan hadits dhaif?
Penjelasan atas pertanyaan ini dijawab Direktur Aswaja Center Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur yang juga Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Ma’ruf Khozin.
“Memang betul, hadits tentang mengubur masyimah adalah hadits dhaif. Tapi akhirnya saya menjelaskan mengapa alergi terhadap hadits dhaif? Hadits dhaif ada banyak jenisnya dan bagaimana terkait penerimaan hadits dhaif menurut para ulama kita,” ujar dia dalam keterangannya, Rabu (10/3).
Dia menyebutkan, pada masa awal pembukuan hadits hanya dikenal hadits sahih dan hadits dhaif. Karena hadits dhaif ini banyak jenisnya maka tidak seluruhnya ditolak.
Terbukti ada kriteria tertentu yang awalnya bagian dari istilah dhaif kemudian tidak disebut dhaif bahkan digolongkan dalam istilah hadits sahih dan bisa dijadikan hujjah, yaitu hadits Hasan yang dicetuskan Imam Tirmidzi:
قال أبو عيسى كل حديث يروى لا يكون فى إسناده من يتهم بالكذب ولا يكون الحديث شاذا ويروى من غير وجه نحو ذاك فهو عندنا حديث حسن
Abu Isa Tirmidzi berkata: "Setiap hadits yang diriwayatkan, tidak ada perawi yang dituduh pemalsu hadits, tidak bertentangan dengan hadits sahih dan memiliki jalur riwayat lain, maka menurut kami adalah hadits Hasan" (Al-Hafidz Al-Iraqi, Taqyid wal Idhah, 1/45).
Bagaimana pandangan ulama empat azhab Ahlissunah wal Jamaah tentang hadits dhaif? Berikut ini penjelasan Kiai Ma’ruf:
- Mazhab Hanafi
وَإِنْ كَانَتْ ضَعِيفَةً لِلْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ Meskipun hadits dhaif, maka hadits dhaif boleh diamalkan dalam keutamaan Amal (Durar Al-Hukkam 1/36)