Senin 15 Mar 2021 13:12 WIB

Pandemi Picu Kenaikan Angka Kehamilan yang tak Direncanakan

Pandemi membuat sebanyak 12 juta perempuan kehilangan akses terhadap kontrasepsi

Rep: Mabruroh/ Red: Gita Amanda
Ilustrasi Ibu Hamil
Foto: pixabay
Ilustrasi Ibu Hamil

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sebanyak 12 juta perempuan kehilangan akses terhadap kontrasepsi (alat pencegah kehamilan). Hal ini memicu kenaikan angka kehamilan yang tidak direncanakan sebanyak 1,4 juta perempuan di 112 negara.

"Sekitar 1,4 juta kehamilan yang tidak direncanakan terjadi selama pandemi virus corona. Pandemi menciptakan krisis yang menyebabkan hampir 12 juta wanita kehilangan akses ke kontrasepsi," kata sebuah studi dilansir dari The Independent, Senin (15/3).

Para peneliti di United Nations Population Fund (UNFPA) mengatakan pandemi telah menciptakan krisis kesehatan masyarakat global dengan sangat cepat. Dalam 100 tahun, krisis ini merupakan yang terparah yang pernah terjadi di seluruh dunia dan menyebabkan sumber daya dialihkan dari layanan kesehatan seksual.

"Banyak perempuan memilih menahan diri untuk mengakses layanan kesehatan reproduksi akibat lockdown atau kecemasan tertular Covid," kata studi tersebut.

Direktur Eksekutif UNFPA, Dr. Natalia Kanem berpendapat, pandemi atau krisis apapun tidak bisa menghentikan kehamilan. Yang harusnya dipastikan kata dia, adalah mereka memiliki akses untuk memiliki kontrasepsi dan obat-obatan penunjang kesehatan ibu hamil.

“Dampak buruk yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap kehidupan jutaan wanita dan anak perempuan dalam satu tahun terakhir menggarisbawahi betapa pentingnya untuk memastikan kelangsungan layanan kesehatan reproduksi," terang Kanem.

Karenanya, lanjut Kanem, meskipun terdapat kendala dalam mewujudkan keluarga berencana di masa pandemi, komunitas internasional telah bekerja sama untuk mengurangi skenario terburuk. "Dari pemerintah, produsen hingga penyedia layanan kesehatan, rantai pasokan dunia untuk kontrasepsi modern telah menunjukkan ketahanannya, dan sebagian besar bangkit kembali dari kehabisan stok seperti yang kita lihat pada hari-hari awal pandemi," jelas Kanem.

Di Inggris, kata Kanem, data baru mengungkapkan penurunan 53 persen dalam alat kontrasepsi darurat yang disediakan oleh layanan kesehatan reproduksi dan seksual dari April hingga September tahun lalu, dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019.

Angka-angka baru, yang dirilis oleh Fakultas Kesehatan Seksual dan Reproduksi (FSRH), menunjukkan penurunan 37 persen dalam kontak terkait kontrasepsi dengan layanan kesehatan seksual dan reproduksi selama periode yang sama. Jumlah ini menukik 249.927 kontak.

Presiden FSRH, Dr Asha Kasliwal mengatakan Pandemi Covid-19 telah mengubah cara perempuan mengakses kontrasepsi. "Seperti yang ditunjukkan oleh survei anggota kami sendiri, meskipun dokter, perawat, dan profesional perawatan kesehatan lainnya telah bekerja tanpa lelah untuk menjamin tingkat minimum penyediaan, pandemi Covid-19 telah menghantam layanan kontrasepsi komunitas dengan keras," ujar Kasliwal.

“Pandemi telah menyoroti bahwa layanan kontrasepsi membutuhkan investasi yang berkelanjutan. Pemindahan staf dari klinik kesehatan reproduksi dan seksual yang sudah kekurangan staf, mengakibatkan penutupan layanan, dan dokter khawatir bahwa pasien yang rentan tidak lagi dapat mengakses perawatan yang mereka butuhkan," tambah Kasliwal.

The Independent baru-baru ini melaporkan bahwa, ribuan perempuan Inggris telah melakukan aborsi setelah mengetahui hamil dan mengalami kesulitan mengakses kontrasepsi selama pandemi.

Banyak perempuan berjuang untuk mendapatkan pilihan kontrasepsi jangka panjang yang paling efektif seperti implan. Namun karena ini membutuhkan janji tatap muka yang sebagian besar telah ditangguhkan, dan konsultasi dilakukan dari jarak jauh melalui telepon atau panggilan video untuk menahan virus.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement