REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid -19 tak menghentikan produksi tenun di Tanah Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pemimpin Sanggar Budaya Sawango Ende sekaligus pembina tenun Ende, Ali Abu Bakar Pae, mengatakan, produksi tenun tidak berkurang karena masih ada ritual hantaran tenun pada acara pernikahan atau kematian.
"Jadi, tidak ada alasan karena Covid menjadi tidak menenun," ujar Ali pada webinar nasional dengan tema "Selayang Pandang Tenun Ende: Merawat Tradisi di Masa Pandemi Covid-19", Rabu (24/3).
Dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, pembina tenun di empat desa yakni di Mbomba, Anaraja, Roporendu, Wipi Wemo, dan Rate Rua itu, mengatakan, kegiatan ritual pernikahan menjadikan kegiatan menenun di Ende terus berlangsung, meski permintaan tenun dari luar Ende berkurang. Ritual itu adalah memberikan hantaran tenun yang harus dibalas dengan pemberian tenun.
Proses menenun yang membutuhkan waktu lama, berkisar antara satu bulan sampai dua bulan, yang membuat stok tenun sangat kurang. Penenun biasanya mendahulukan pesanan tenun untuk hantaran ritual adat.
Menurut dia, di Ende, menenun menjadi sebuah kebanggaan. Kalau tidak bisa bikin tenun bagus, ia akan merasa malu, apalagi kalau tidak bisa mengajarkan tenun ke anaknya.
"Karenanya anak-anak perempuan di Ende selalu diajarkan menenun, agar kelak bisa membuat tenun sendiri," ujar Ali.
Dia berharap, masyarakat Indonesa bisa mempopulerkan tenun sebagai warisan leluhur. Meski ada tenun cetak, jenis itu justru menambah khasanah kain. Namun dia menegaskan, tenun asli dengan pewarna alami harus tetap dilestarikan.
Pelestarian tenun bisa dilakukan melalui literasi. Budaya lisan dialihkan dalam bentuk buku, film, video dan sebagainya.
Peneliti muda dari UI, M Arief Wicaksono, adalah salah seorang akademisi yang turut melestarikan tenun Ende melalui buku hasil risetnya dengan judul Tenun Lio Nggela, Flores Tengah: Tradisi, Perkembangan, dan Dinamikanya.
Wicak, sapaan akrab Arief Wicaksono melihat keberagaman tenun di Flores saat dia meneliti rumah tradisional Ende. Di rumah tradisional itu dia melihat isu gender, ritual, termasuk tenun. Di Nggela, tempat penelitian dilakukan, dia melihat etnik Ende (barat), Lio (selatan), Sikka (agak ke timur).
Menurutnya, kegiatan menenun berawal dari pengalaman yang membentuk pengetahuan kemudian berlanjut menjadi tradisi dan akhirnya sampai kepada motif ekonomi. Kain tenun Ende dipertukarkan pada ritual pernikahan, kematian, membangun rumah dan kepuasan pribadi.
"Untuk alasan terakhir, biasanya penenun tidak menjual kain tenunnya, tetapi untuk dipakai sendiri sebagai bentuk kepuasan telah berhasil membuat tenun yang dirasa sulit," kata Wicak dalam kesempatan yang sama.
Hasil risetnya menemukan, tenun menempatkan perempuan pada posisi yang signifikan karena menghasilkan uang lebih cepat dibandingkan laki-laki yang mayoritas bekerja di ladang. Strategi promosi menjual tenun keluar, bisa dilakukan lewat jejaring diaspora. Tetapi mereka yang secara ekonomi rendah, bisa menjadi buruh tenun hingga membentuk komunitas tenun.
Ketua Umum Institut Literasi Nasionalisme Wahidah R Bulan mengatakan, tenun sebagai produk budaya perlu disosialisasikan melalu literasi. Tingkat literasi paling tinggi adalah bagaimana seseorang bisa mendorong anak bangsa menciptakan suatu produk pengetahuan.
"Yang terlibat dalam literasi kebudayaan ini, harus semuanya, penenun, masyarakat, kampus, dan sebagainya," ujar Wahidah.
Webinar nasional ini diikuti oleh lebih dari 70-an peserta dari seluruh Indonesia. Para peserta yang datang berasal dari berbagai latar belakang ini begitu antusias saat sesi tanya jawab dibuka.
Danny Tumbelaka, fotografer menanyakan tentang makna beberapa motif tenun. Begitu pun Edrida Pulungan, pecinta tenun, bertanya tentang bagaimana melestarikan generasi penenun yang kurang diminati, mengingat mayoritas penenun Ende berusia di atas 35 tahun keatas.
Webinar itu dimoderatori oleh Dwi Woro Retno Mastuti, peneliti budaya dari Universitas Indonesia. Kegiatan ini digelar oleh Rumah Cinwa (Cinta Wayang) dan Institut Literasi Nasionalisme (Ilnas).