REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh: Jaya Suprana, Budayawan, Penggagas Rekor MURI, Pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan
Jelas tak terbantahkan bahwa terorisme memprihatinkan kita semua yang masih memiliki sisa nurani kemanusiaan. Maka hukumnya wajib bahwa tanpa kompromi terorisme tidak bisa dan tidak boleh dibenarkan dengan alasan apa pun juga.
KEKERASAN
Bagi yang secara langsung merasakan dampak terorisme pasti lahir-batin makin lebih menderita ketimbang yang “hanya” menonton, mendengar atau membaca berita.
Terorisme bukan hanya menjadi bahan pemberitaan namun juga bahan perdebatan para ilmuwan dan cendekiawan mau pun pergunjingan kaum awam.
Bahkan terorisme menjadi topik bahasan serius seminar secara offline mau pun online yang bahkan laris diperjualbelikan lewat youtube dan medsos komersial.
Buku buku tradisional dan elektronikal tentang terorisme sibuk dipublikasikan dan diviralkan. Akibat terorisme asyik dibahas, diperdebatkan, didiskusikan, dirapatkan, ditulis, diviralkan, didefinisikan atau entah diapakan, kita semua tak sadar bahwa terorisme dalam arti kekerasan oleh manusia terhadap manusia masih terus menerus tetap terjadi di planet bumi.
SEPANJANG JAMAN
Terorisme sudah dilakukan sejak Kain membunuh Habil, Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, Belanda menjajah Nusantara, Westerling membantai rakyat Indonesia, ayah kandung saya dibunuh pada masa pasca G30S, kedua tangan sepupu saya di Republik Rakyat China dihancurkan oleh laskar Revolusi Kebudayaan, prahara 911 di New York , tragedi Tien An Men, pembantaian laskar empire Ottoman terhadap kaum Armenia, Hitler terhadap Yahudi, Israel terhadap Palestina, Amerika Serikat terhadap Filipina dan Vietnam, Nasrani terhadap Nasrani di Irlandia Utara, penindasan terhadap kaum Rohingnya di Myanmar, bom bunuh diri di Irak, Suriah , Bali, Jakarta, Makassar, penembakan di Tol Cikampek, Mabes Polri, berbagai lokasi di Amerika Serikat et cetera dan lain sebagainya.
PERTANYAAN
Sejarah telah membuktikan bahwa kekerasan oleh manusia terhadap manusia terus menerus terjadi maka beranekaragam pertanyaan merajalela menghantui kalbu saya.
Apakah memang berarti kita semua terpaksa harus menyerah pasrah kepada kenyataan bahwa kekerasan merupakan kenyataan yang mustahil diingkari apalagi ditolak?
Apakah memang mustahil kita bisa mengubah pikiran dan perasaan manusia untuk tidak melakukan kekerasan terhadap sesama manusia?
Bukankah makna peradaban sejatinya adalah justru memperbaiki Das Sein untuk menjadi Das Sollen yang lebih baik?
Bukankah semua agama mengutamakan ajaran kasih sayang ketimbang kekerasan ?
Lalu kenapa justru kekerasan dilakukan atas nama agama?
JIHAD AL NAFS
Saya Nasrani namun mengagumi maka mencoba menghayati makna adiluhur terkandung di dalam sebuah hadits tentang Al Sukuni meriwayatkan dari Abu Abdillah Al Shadiq bahwa ketika menyambut pasukan Sariyyah kembali setelah memenangkan peperangan, Nabi Muhammad s.a.w. bersabda:
“Selamat datang wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil tetapi masih harus melaksanakan jihad akbar! “
Ketika orang-orang bertanya tentang makna sabda itu, Rasul Allah s.a.w menjawab:
“ Jihad kecil adalah perjuangan menaklukkan musuhmu. Jihad akbar adalah jihad Al-Nafs, perjuangan menaklukkan dirimu sendiri!”