REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA -- Penembakan dua tenaga guru hingga tewas di Beoga Kabupaten Puncak, Papua, Oktavianus Rayo dan Yonatan Renden, oleh kelompok bersenjata merupakan kejahatan kemanusiaan yang tidak dapat dibenarkan. Tuduhan separatis Papua bahwa dua guru itu mata-mata aparat adalah tidak benar.
"Tuduhan KKB kepada korban penembakan sebagai mata-mata aparat keamanan hanyalah modus KKB untuk menutupi kejahatan kejinya terhadap korban. Itu hanya modus KKB. Disini mereka sering mengancam kios-kios pendatang untuk menyerahkan uang Rp20 juta rupiah per kios," ujar keluarga Rayoyang berinisial RS, di Papua, Sabtu.
Kepala Humas Satgas Nemangkawi, Komisaris Besar Polisi MIqbal Alqudussy, mengatakan, Rayo dan Renden hanya menjalankan tugas sebagai guru dengan niat mulia untuk mencerdaskan anak anak pedalaman di kabupaten Puncak, Papua."Tidak ada bukti kedua guru tersebut sebagai mata-mata aparat. Siapapun yang punya hati nurani pasti tidak akan membenarkan penembakan keji tersebut. Saya sebagai manusia sangat berduka dan prihatin terhadap keluarga almarhum," kata Alqudussy.
Ia katakan, peristiwa serupa pernah juga terjadi tepatnya pada 22 Mei 2020. Ada tenaga medis yang sedang menangani Covid-19 ditembak karena dilabeli intel oleh kelompok bersenjata."Tindakan-tindakan KKB ini juga termasuk kategori pelanggaran hak asasi manusia,"ujarnya.
Logistik kelompok bersenjata semakin tergantung pada hasil pemerasan ke warga. Hingga kini mereka juga tidak lagi kebagian dana otonomi khusus sejak ada larangan tegas dari Kementerian Dalam Negeri kepada pemerintah daerah untuk tidak menyalahgunakan Dana Otsus Papua."Mereka KKB ini juga pintar memanfaatkan media. Setelah eksekusi korban. Lalu update ke media sosial sebagai sebuah kebanggaan dengan menggiring informasi seolah-olah tindakan mereka sudah benar untuk mencari dukungan publik. Sebenarnya cara-cara tersebut sudah terbaca oleh rekan-rekan media, tetapi masih ada juga media yang masih termakan dengan penggiringan informasi KKB," kata dia.