Rabu 14 Apr 2021 06:15 WIB

Bertemu AS, Israel Sebut Iran Sebagai Rezim Fanatik

Mengembalikan Iran ke kesepakatan telah menjadi prioritas utama AS.

Rep: Alkhaledi Kurnialam/ Red: Ani Nursalikah
Bertemu AS, Israel Sebut Iran Sebagai Rezim Fanatik. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (kiri) menghadiri tahap pembuktian persidangannya atas dugaan kejahatan korupsi, di pengadilan distrik Yerusalem, di Salah El-Din, Yerusalem Timur, 05 April 2021.
Foto: EPA-EFE/ABIR SULTAN
Bertemu AS, Israel Sebut Iran Sebagai Rezim Fanatik. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (kiri) menghadiri tahap pembuktian persidangannya atas dugaan kejahatan korupsi, di pengadilan distrik Yerusalem, di Salah El-Din, Yerusalem Timur, 05 April 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSSALEM -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut pemerintah Iran sebagai rezim fanatik. Pernyataan ini dikatakan pada konferensi pers bersama dengan Menteri Pertahanan Amerika Serkat (AS) Lloyd Austin di Yerusalem, Senin (12/4).

Kedatangan pejabat AS di Israel ini bertepatan dengan serangan sabotase terhadap fasilitas nuklir bawah tanah Iran Natanz yang merusak sentrifugal. Sebuah serangan yang dapat membahayakan pembicaraan yang berkelanjutan untuk bergabung kembali dengan perjanjian nuklir Iran 2015.

Baca Juga

Mengembalikan Iran ke kesepakatan telah menjadi prioritas utama pemerintahan Presiden AS Joe Biden. Netanyahu tidak menanggapi tuduhan Iran bahwa Israel berada di balik serangan pada Ahad itu.

Namun, media Israel secara luas melaporkan negara tersebut telah mengatur serangan dunia maya yang menghancurkan yang menyebabkan pemadaman listrik di fasilitas nuklir. "Kebijakan saya sebagai perdana menteri Israel jelas: Saya tidak akan pernah mengizinkan Iran memperoleh kemampuan nuklir untuk melaksanakan tujuan genosidalnya untuk melenyapkan Israel,” kata Netanyahu dilansir dari Aljazirah, Selasa (13/4).

Austin, pada bagiannya, mengatakan dia bersyukur atas diskusi yang telah dilakukan untuk memajukan prioritas pertahanan bersama dan memelihara kerja sama yang erat antara AS dan Israel. Pada konferensi pers sebelumnya di pangkalan udara Nevatim Israel, Austin menolak mengatakan apakah serangan Natanz dapat menghalangi upaya pemerintahan Biden membawa Iran kembali ke kepatuhan pada kesepakatan nuklir 2015, di mana presiden AS sebelumnya Donald Trump menarik diri pada 2018.

Serangan Natanz terjadi hanya beberapa hari setelah tanda-tanda kemajuan pertama sejak Biden menjabat, dengan pihak-pihak dalam pertemuan kesepakatan di Wina pekan lalu. AS mengatakan Iran harus berhenti melanggar perjanjian dengan memperkaya dan menimbun uranium di luar batas yang ditetapkan dalam perjanjian.  Iran mengatakan AS harus mencabut sanksi terlebih dahulu sebelum kembali ke kesepakatan.

Meskipun tidak ada terobosan baru, pertemuan tatap muka antara para pejabat Iran dan AS, pembicaraan tersebut secara luas dipandang sebagai langkah pertama yang penuh harapan. Secara khusus, AS mengatakan siap untuk menghapus sanksi tidak konsisten dengan kesepakatan itu. Israel menentang kesepakatan nuklir awal dan menentang upaya untuk menghidupkannya kembali perjanjian tersebut. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement