REPUBLIKA.CO.ID, Selamat menjalankan ibadah Ramadhan. Tahun ini jadi kali kedua Ramadhan di tengah pandemi. Saya ingat, tahun lalu benar-benar belajar untuk mengelola mental di tengah situasi yang serba tidak pasti. Tahun ini, rasanya tak jauh berbeda hanya lebih siap dan sudah punya bekal lebih memadai.
Saya sendiri merasa bersyukur masih waras hingga detik ini. Ada banyak penyesuaian yang dilakukan untuk bertahan. Alhamdulillah, tahun ini bisa bertemu Ramadhan kembali.
Ada beberapa hal yang saya pelajari jika menengok pada Ramadhan tahun lalu. Ramadhan, bagi saya, menjadi lebih bermakna. Ramadhan yang dijalani di tengah pandemi membuat saya putar otak untuk banyak hal. Mulai dari menjaga kesehatan fisik dan mental, mengelola keuangan, hingga upaya-upaya mendekatkan diri pada Yang Kuasa.
Saya jadi menyadari dan lebih memahami bahwa puasa Ramadhan memberikan keringanan seperti yang dijanjikan Allah Swt kepada umat Rasulullah. Dalam rangkaian ayat tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, Allah menegaskan Dia menginginkan kemudahan bagi umat Rasulullah. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 185:
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
'Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.'
Jika dibandingkan dengan puasa pada masa sebelum Rasulullah, misalnya puasa Maryam, puasa yang disyariatkan untuk umat Rasulullah jauh lebih ringan. Selain menahan lapar dan dahaga, puasa Maryam melarang seseorang berbicara. Jika berbicara maka puasanya akan batal.
Baca juga : Apa Hakikat Berpuasa di Bulan Ramadhan? (Part 1)
Selain itu, keringanan lain yang dirasakan terletak pada syarat seseorang yang hendak berpuasa. Orang sakit, musafir, atau tidak mampu, tidak dibolehkan puasa walaupun nanti mereka mengganti dengan qadha atau membayar fidyah.
Bentuk keringanan lain, umat Rasulullah haram menjalani puasa wishal, puasa yang terus-menerus tanpa berbuka atau sahur. Puasa dengan cara menyakiti diri seperti itu termasuk haram hukumnya.
Rasulullah saw melarang para sahabat berpuasa wishal sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka. Para sahabatnya bertanya, Anda sendiri berpuasa wishal? Kemudian dia menjawab, Aku tidak seperti kalian. Sesungguhnya Allah memberiku makan dan minum, (HR Bukhari dan Muslim).
Maka, sudah selayaknya umat muslim berbahagia ketika Ramadhan tiba karena ada banyak alasan untuk itu. Misalnya, bahagia karena telah menyelesaikan puasa. Seseorang berbahagia karena Allah telah mengizinkan untuk menyelesaikan ibadah puasa pada hari itu. Allah berfirman dalam surat an-Nahl ayat 53:
وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ ٱللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْـَٔرُونَ
Wa mā bikum min ni'matin fa minallāhi ṡumma iżā massakumuḍ-ḍurru fa ilaihi taj`arụn. “Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.”
Kebahagiaan saat Ramadhan juga dapat tergambar dari datangnya pahala yang tak terbatas. Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw bersabda, Semua amal perbuatan anak Adam-yakni manusia- itu adalah untuknya, melainkan berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan balasan dengannya (HR Bukhari).
Baca juga : Apa Hakikat Berpuasa di Bulan Ramadhan? (Part 2-Selesai)
Kebahagiaan yang tak kalah penting di tengah kondisi pandemi saat ini yakni bahagia karena sehat. Puasa dapat meningkatkan kekuatan hati dan jiwa. Adanya peningkatan gabungan kesehatan yang baik untuk tubuh, hati, dan jiwa akan menambah tingkat kebahagiaan.