Jumat 30 Apr 2021 04:00 WIB

Krisis Iklim Menguntungkan Negara yang Mau Bertransisi

Negara yang enggan bertransisi akan kena dampak negatif perubahan iklim.

 Aktivis lingkungan dengan balon bumi melakukan aksi mati-matian dalam unjuk rasa memperingati Hari Bumi melawan perubahan iklim di depan Kompleks Pemerintah di Seoul, Korea Selatan, Kamis, 22 April 2021.
Foto: AP/Ahn Young-joon
Aktivis lingkungan dengan balon bumi melakukan aksi mati-matian dalam unjuk rasa memperingati Hari Bumi melawan perubahan iklim di depan Kompleks Pemerintah di Seoul, Korea Selatan, Kamis, 22 April 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pembina Sustainable Development Indonesia (SDI) Dradjad Wibowo mengingatkan, krisis iklim, atau lebih luas lagi isu kelestarian (sustainability), akan memberi dampak negatif bagi negara yang enggan bertransisi. Tapi akan menjadi peluang besar bagi yang mau menerapkannya.

“Contohnya adalah pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management – SFM),” kata Dradjad, Jumat (30/4).

Dijelaskannya, selama bertahun-tahun perusahaan hutan tanaman industri (HTI) dan pulp and papers Indonesia menjadi sasaran kampanye global karena dicap sebagai pelaku deforestasi. Akibatnya, korporasi seperti Disney, Mattel, Xerox dan Woolworths sempat memboikot mereka, sehingga ekspornya anjlok ke titik terendah USD 4,98 milyar pada 2016.

Sebagai respon, lanjut ekonom Indef ini, sejak dekade 2000-an pemerintah, swasta dan masyarakat sipil bekerja keras memperbaiki kinerja SFM. Hasilnya, pada Desember 2014 perusahaan HTI mulai mendapatkan sertifikat SFM dari IFCC/PEFC.

IFCC (the Indonesian Forestry Certification Cooperation) adalah lembaga pengembang dan pemilik skema sertifikasi independen, yang merupakan anggota dari PEFC (the Programme for the Endorsement of Forest Certification) dari Jenewa, Swiss. PEFC ini merupakan sertifikasi SFM terbesar di dunia. "Saya adalah pendiri IFCC dan anggota PEFC Board,” ungkapnya.

Pada tahun 2015 baru 0.7 juta hektar HTI yang bersertifikat SFM. angkanya naik drastis menjadi 2.4 juta hektar (2016) dan 3.7 juta hektar (2017). Per hari ini semua HTI yang SFM sudah mendapat sertifikat, dengan luas sekitar 4 juta hektar (74 perusahaan), ditambah 40 perusahaan pengolahan/konsumer akhir.

Dengan SFM, menurut Dradjad, ternyata ekspor pulp and papers naik kembali. Sejak 2017, ekspor naik menjadi US$ 6.21 milyar (2017), US$ 7.13 milyar (2018), US$ 7.15 milyar (2019), dan hanya turun 4,4% menjadi USD 6.84 milyar (2020) saat pandemi.

Menurut Dradjad, ini tidak lepas dari fakta bahwa banyak sekali korporasi terbesar dunia yang mewajibkan sertifikat SFM (termasuk dari PEFC) sebagai salah satu syarat pembeliannya. Korporasi tersebut antara lain Apple, Johnson & Johnson, Walmart, Nestle, P&G, Samsung, LV, Zara dan banyak lagi. "Jadi, sustainabily pays,” tandasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement