REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Dampak ganda dari pandemi dan krisis politik Myanmar yang dipicu oleh kudeta militer dapat mengakibatkan hampir setengah populasi jatuh ke dalam kemiskinan pada 2022. Setengah populasi itu sebanyak 25 juta orang.
Peringatan ini dikeluarkan oleh Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Dalam laporan yang dirilis pada Jumat, UNDP mengatakan efek krisis dapat mendorong jutaan lebih banyak orang ke dalam kemiskinan.
"COVID-19 dan krisis politik yang sedang berlangsung menambah guncangan yang mendorong mereka yang paling rentan kembali dan semakin jauh ke dalam kemiskinan," kata Asisten Sekretaris Jenderal PBB dan Direktur Regional UNDP untuk Asia dan Pasifik, Kanni Wignaraja, kepada Reuters.
"Pencapaian pembangunan yang dicapai selama satu dekade transisi demokrasi, betapapun tidak sempurnanya, akan terhapus dalam hitungan bulan," katanya.
Dia menambahkan kemajuan negara itu mungkin akan mundur seperti tahun 2005, ketika negara itu juga berada di bawah kekuasaan militer dan separuh penduduk miskin. Studi tersebut menunjukkan bahwa pada akhir tahun lalu, rata-rata 83 persen rumah tangga melaporkan pendapatan mereka berkurang hampir setengahnya karena pandemi.
Jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan diperkirakan meningkat 11 poin persentase karena efek sosial ekonomi pandemi. Laporan tersebut mengatakan situasi keamanan yang memburuk, serta ancaman terhadap hak asasi manusia dan pembangunan di Myanmar sejak kudeta 1 Februari dapat meningkatkan kemiskinan hingga 12 poin persen lebih lanjut pada awal tahun depan.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemerintah terpilih San Suu Kyi. Pasukan keamanan telah menewaskan lebih dari 750 warga sipil dalam demonstrasi tersebut, kata sebuah kelompok aktivis.
Laporan tersebut mengatakan perempuan dan anak-anak akan menanggung beban terberat dari krisis."Separuh dari semua anak di Myanmar bisa hidup dalam kemiskinan dalam satu tahun," kata Wignaraja, seraya menambahkan pengungsi internal yang sudah rentan juga menghadapi lebih banyak tekanan.
Laporan itu mengatakan kemiskinan perkotaan diperkirakan meningkat tiga kali lipat. Sementara situasi keamanan mematahkan rantai pasokan dan menghambat pergerakan orang, jasa, dan komoditas, termasuk barang-barang pertanian. Tekanan pada mata uang Myanmar, Kyat, juga telah meningkatkan harga impor dan energi.